Lima Urgensi atas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
Terbaru

Lima Urgensi atas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Seperti menghemat waktu dan biaya penanganan perkara, hingga menerapkan sistem pembuktian terbalik secara utuh.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Kedua, jangkauan perampasan aset lebih jauh dari peraturan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan potensi asset recovery. Terdapat beberapa kriteria aset yang dapat dirampas. Seperti aset yang diperoleh hasil dari tindak pidana; aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan aset; aset yang merupakan barang temuan; aset sitaan dari tindak pidana; dan aset yang sah untuk mengganti dari tindak pidana.

Ketiga, substitusi aset untuk aset yang tidak dapat disita di luar negeri. Menurutnya, bila terdapat aset hasil tindak pidana di luar negeri yang tidak dapat dirampas, maka dapat diganti aset yang setara dengan nilai tersebut. Dengan begitu, tidak perlu merampas dengan mekanisme yang sulit menggunakan mutual legal asistance (MLA) yang memerlukan waktu panjang. “Kalau ada ketentuan ini bisa lebih mudah, efektif dan efisien, sehingga bisa lebih optimal,” kata dia.

Keempat, pengelolaan aset sitaan/rampasan di satu lembaga bakal lebih efektif dan efisien. Praktik di lapangan, kendati terdapat rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan), namun masing-masing institusi penegakan hukum melakukan pengelolaan barang rampasan. “Tapi kalau di satu lembaga (baru, red), pengelolaan bisa menjadi lebih efektif dan efisien.”

Kelima, menerapkan sistem pembuktian terbalik secara utuh. Menurutnya, melalui mekanisme tersebut termohon harus bisa membuktikan harta yang dihasilkan bukanlah hasil tindak pidana. Dalam Pasal 37 UU 31/1999 sudah mengatur pembuktiakn terbalik. Sayangnya, pengaturannya masih terbatas. “Mengenai jangkauan luas ini, kalau belum ada aturan ini kami agak kesulitan,” katanya.

Kepala Bidang Pemulihan Aset Nasional Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung, Silvia Desty Rosalina mengatakan terdapat tujuan dari RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yakni fakta di lapangan terdapat perkara yang tak dapat disidangkan akibat tersangka melarikan diri, sakit permanen, meninggal, atau sebab lainnya.

Kemudian adanya konsep perampasan aset tanpa penghukuman atau pemidanaan terhadap pelakunya atau dikenal dengan non-conviction based asset forfeiture. Selanjutnya, terhadap aset atau kekayaan yang secara siginifikan tidak seimbang dengan sumber penghasilan/penambahan kekayaan dan berasal dari tindak pidana. “Hal-hal ini menurut saya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat mengisi kekosongan hukum yang mengatur Non-Conviction Based Asset Forfeiture,” kata dia.

Kendatipun terdapat dua aturan berupa Perma 1/2013 dan UU 31/1999, namun tak mengatur perampasan aset terhadap perkara yang tidak dapat disidangkan. Sementara melalui RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat mengambil alih. Begitupula dengan permintaan pemulihan aset dari luar negeri. “UU Perampasan Aset yang efektif yang membangun substansi, mekanisme dan struktur yang memang belum ada dalam hukum positif,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait