​​​​​​​Mahasiswa dan Masalah Ability to Pay
Mahasiswa Bergerak

​​​​​​​Mahasiswa dan Masalah Ability to Pay

Seorang mahasiswa ikut mempersoalkan pajak bumi dan bangunan. Legal standingnya diakui. Mahasiswa lain mempersoalkan Biaya Kuliah Tunggal ke Mahkamah Agung.

Normand Edwin Elnizar/MYS/M-30
Bacaan 2 Menit

 

Baca juga:

 

Biaya Kuliah dan Badan Hukum Pendidikan

Berlakunya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sebagai tindak lanjut Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dianggap telah merugikan banyak pihak. Tercatat tidak kurang dari lima permohonan judicial review yang masuk ke Mahkamah Konstitusi yang diputus bersama-sama pada Maret 2010. Sebagian pemohon pengujian ini masih berstatus mahasiswa, misalnya mahasiswa Universitas Indonesia Yurra Pratama Yudistira dan Senja Bagus Ananda; serta mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Aminuddin Ma’ruf dan Naufal Azizi.

 

Dalam permohonan No. 21/PUU-VII/2009, Yurra Pratama Yudistira mempersoalkan UU Badan Hukum Pendidikan karena dengan adanya Undang-Undang pemerintah semakin menghindari tanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan, sehingga beban biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa semakin berat. “Akses pemohon I (mahasiswa –red) untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas menjadi terhalangi,” demikian dalil yang disampaikan Yurra dalam permohonan.

 

Legal standing para mahasiswa yang mengajukan permohonan. Mahasiswa memiliki potensi kerugian konstitusional akibat berlakunya UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan. Demikian pula pemohon lain yang terdiri dari orang tua murid, pimpinan yayasan, dan dosen.

 

Dalam putusan yang digabung (putusan No. 11, No. 14, No. 21, No. 126 dan No. 136/PUU-VII/2009), Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Mahkamah membatalkan seluruh materi muatan UU No. 9 Tahun 2009. Dengan demikian permohonan para mahasiswa dan pemohon lain berhasil. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007, dan telah melanggar hak konstitusional para pemohon.

 

Hukumonline.com

 

HUM ke Mahkamah Agung

Ada juga upaya mahasiswa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Misalnya berkaitan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

 

Andri Setya Nugraha, Arvel Mulia Pratama, dan Ivan Azis Muhammad, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Universitas Andalas menguji materi ke Mahkamah Agung karena merasa dirugikan. Mereka menilai Permenristek Dikti itu bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

(Baca juga: 3 Mahasiswa Persoalan Aturan Uang Kuliah Tunggal Hingga ke MA, Bagaimana Hasilnya?)

 

Pasal 8 ayat (1) Permenristek Dikti dianggap membolehkan pungutan lain di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT) kepada mahasiswa yang masuk melalui seleksi jalur mandiri. Padahal, UU Pendidikan Tinggi menyatakan pembiayaan studi mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayai mahasiswa. Ini juga sejalan dengan asas ‘keterjangkauan’ yang disinggung dalam UU Pendidikan Tinggi. MA berpendapat bahwa alasan-alasan para pemohon tidak dapat dibenarkan karena sejumlah pertimbangan. Dalam amar putusan hakim menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima.

Tags:

Berita Terkait