Maklumat Kapolri Dinilai Batasi Hak Memperoleh Informasi yang Dilindungi Konstitusi
Utama

Maklumat Kapolri Dinilai Batasi Hak Memperoleh Informasi yang Dilindungi Konstitusi

Aliansi mengingatkan seharusnya setiap tindakan pembatasan hak semestinya tunduk dan mengacu pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Polri menegaskan Maklumat ini hanya untuk mencegah produksi konten, penyebarluasan informasi yang tak bertanggung jawab, dan bertentangan dengan konstitusi. Khusus pekerja jurnalistik tak terikat dengan Maklumat tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

Menurut Aliansi, kata Isnur, pembatasan hak informasi yang notabene menjadi bagian dari kebebasan berekspresi pun tunduk terhadap mekanisme sebagaimana diatur Pasal 19 ayat (3) International Convenant on Civil and Political Right atau Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Apalagi KIHSP telah diadopsi atau diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang PengesahanInternational Convenant on Civil and Political Right.

Menurutnya, terdapat tiga syarat dalam memastikan legitimasi tindakan pembatasan hak yang dibolehkan. Pertama, threepart test (tiga uji elemen) yang mengharuskan setiap pembatasan. Pengaturan pembatasan diatur oleh hukum (prescribed by law). “Oleh sejumlah ahli ditafsirkan pembatasan mesti melalui UU atau putusan pengadilan,” kata Isnur.  

Kedua, dalam mencapai tujuan yang sah (legitimate aim) yakni keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain. Ketiga, pembatasan benar-benar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality). Prinsip ini sesungguhnya untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan,” ujarnya.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin melanjutkan merujuk Komentar Umum No. 34 Tahun 2011 tentang Kebebasan Berekspresi, intinya keseluruhan perlindungan hak yang dijamin ketentuan Pasal 19 KIHSP termasuk menjangkau konten media internet. Poin ini sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 yang menegaskan, perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, pun melekat saat mereka online.

Menurutnya, perlindungan khususnya kebebasan berekspresi berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih. Apalagi diperkuat dengan terbitnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018. Intinya, mengingatkan betapa pentingnya penghormatan HAM dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. “Dengan pertimbangan di atas, pertanyaannya kemudian apakah Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 telah memenuhi persyaratan prescribed by lawlegitimate aim, dan necessity?

Bagi Ade, pijakan terbitnya Maklumat Kapolri yang materinya berisi perintah pembatasan yang hanya menyandarkan pada SKB 6 Menteri/Kepala Lembaga/Badan dinilai jauh dari memenuhi persyaratan sebagaimana diatur hukum. Sebuah SKB seharusya hanya suatu penetapan yang berbentuk keputusan (beschikking). Dengan begitu, materi muatan normanya bersifat individual, konkrit, dan sekali selesai (einmalig).

Karena itu, Maklumat Kapolri tidak semestinya bersifat mengatur keluar, luas, dan terus-menenus (dauerhaftig). “Maklumat semestinya hanya ditujukan bagi internal anggota Polri yang memuat perintah dari Kapolri kepada jajarannya. Pasalnya wadah hukumnya (Maklumat, red) tak memungkinkan mengatur materi muatan yang memuat larangan, apalagi pembatasan hak-hak publik,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait