Masalah Bahasa Dalam Perjanjian Bilingual Pasca Terbitnya Perpres Bahasa Indonesia
Kolom

Masalah Bahasa Dalam Perjanjian Bilingual Pasca Terbitnya Perpres Bahasa Indonesia

Para pihak, terutama pihak asing, harus lebih memperhatikan proses perumusan perjanjian dengan model bilingual di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

 

Sepuluh tahun berlalu, pada tanggal 30 September 2019, Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres Bahasa Indonesia) sebagai ketentuan lebih lanjut dari UU No. 24/2009.

 

Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian yang melibatkan lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Perjanjian yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut. Bahasa nasional pihak asing digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman dengan pihak asing. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang disepakati dalam perjanjian.

 

Ketika mencoba memahami perumusan Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia diperoleh pemahaman bahwa ketika suatu perjanjian melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing, maka pertama-tama para pihak harus membuat perjanjian dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu. Rancangan final perjanjian bahasa Indonesia kemudian akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Terakhir, kedua versi bahasa dari perjanjian akan ditandatangani oleh para pihak.

 

Sayang sekali, Perpres Bahasa Indonesia tidak mempertimbangkan hal yang menjadi kunci permasalahan dalam perumusan perjanjian di Indonesia – menerjemahkan perjanjian dalam Bahasa Indonesia ke bahasa lain. Terjemahan yang baik dan akurat dari perjanjian dalam Bahasa Indonesia sangat penting, namun sulit dilakukan. Ini merupakan salah satu alasan mengapa perusahaan-perusahaan besar yang sudah lama berada di Indonesia memilih untuk menerjemahkan perjanjiannya terlebih dahulu secara in-house (internal).

 

Ada beberapa alasan mengapa sulit untuk memperoleh terjemahan yang baik dari perjanjian dalam Bahasa Indonesia. Menerjemahkan dokumen hukum memerlukan keahlian khusus – tentunya selain dari penguasaan yang tinggi terhadap kedua bahasa yang akan diterjemahkan. Keahlian bahasa saja tidak cukup. Istilah hukum yang sangat spesifik sering kali sulit untuk diterjemahkan. Individu atau penerjemah yang memiliki kualifikasi seperti itu tidak banyak di Indonesia. Masih ada anggapan bahwa penerjemahan perjanjian dapat dilakukan oleh siapa saja asalkan paham Bahasa Inggris.

 

Terjemahan atas perjanjian dalam Bahasa Indonesia juga sulit dilakukan karena memerlukan pengalaman dan perhatian terhadap detail agar terjemahan menjadi akurat. Beberapa ekspresi dan istilah dalam Bahasa Indonesia tidak mudah untuk diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Terkadang untuk memfasilitasinya, istilah dalam Bahasa Indonesia (atau Inggris) harus disesuaikan agar maknanya tetap sama.

 

Untuk perjanjian terkait proyek-proyek yang dikerjakan menggunakan teknologi tinggi atau memanfaatkan barang-barang yang diproduksi di luar negeri, seringkali perjanjian awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris karena perjanjian mencantumkan daftar rincian (sebagai lampiran) teknologi atau barang-barang yang akan dipakai dengan menggunakan istilah/bahasa yang memang sudah lazim digunakan dalam industri tersebut, kebanyakan dalam Bahasa Inggris.

Tags:

Berita Terkait