Masyarakat Sipil Beberkan 2 Potensi Hasil Autopsi Ulang Jenazah Brigadir J
Terbaru

Masyarakat Sipil Beberkan 2 Potensi Hasil Autopsi Ulang Jenazah Brigadir J

Hasil autopsi ulang berpotensi menghasilkan 2 hal. Pertama, sama dengan hasil autopsi yang pertama kali dilakukan. Kedua, hasil autopsi berbeda atau ada temuan baru dibandingkan hasil autopsi pertama.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi autopsi
Ilustrasi autopsi

Aparat kepolisian bersama sejumlah lembaga terkait seperti Komnas HAM masih menelusuri misteri kematian Brigadir “J” alias Nofriansyah Yosua Hutabarat. Kasus itu mendapat sorotan publik. Bahkan Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus tersebut diusut tuntas dan transparan. “Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya, jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan,” tegas Presiden Jokowi sebagaimana dikutip laman setkab.go.id, Kamis (21/7/2022) lalu.

Presiden Jokowi menekankan pengusutan secara tuntas dan transparan tersebut penting untuk dilakukan agar tidak ada keragu-raguan dari masyarakat terhadap peristiwa tersebut. Menurutnya, Polri juga harus bisa menjaga kepercayaan publik pada institusinya. “Itu penting untuk agar masyarakat tidak ada keraguan-keraguan terhadap peristiwa yang ada. Ini yang harus dijaga, kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga,” pesannya.

Organisasi masyarakat sipil juga tak luput menyoroti kasus yang menimpa Brigadir “J” itu. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Mediasi Kesehatan Rakyat, dr. Edi Prasetyo, Sp.N,MH, mengatakan autopsi ulang jenazah Brigadir “J” menimbulkan sejumlah persoalan antara lain berpotensi terjadi perbedaan kesimpulan hasil. Proses autopsi ulang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena faktor pembusukan jenazah dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.

Baca Juga:

Edi berpendapat autopsi ulang itu berpotensi menghasilkan 2 hal. Pertama, hasil autopsi ulang sama dengan autopsi yang pertama. Kedua, hasil autopsi ulang berbeda atau ada temuan baru dibandingkan hasil autopsi sebelumnya. Perbedaan hasil autopsi akan menimbulkan persoalan pada penanganan kasus selanjutnya. Misalnya, hasil autopsi mana yang akan digunakan dalam proses persidangan?

Persoalan lainnya, menurut Edi yakni tidak optimalnya proses autopsi ulang karena jenazah mengalami pembusukan dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya. Jenazah yang telah mengalami pembusukan, maka bukti-bukti yang terdapat pada jenazah semakin kabur. “Idealnya, semua prosedur dalam bongkar makam memang harus dilakukan sesegera mungkin sehingga diharapkan bukti-bukti masih dapat ditemukan,” kata dokter spesialis neurologi itu ketika dikonfirmasi, Kamis (28/7/2022).

Edi menjelaskan autopsi atau bedah mayat dilakukan dengan membuka semua rongga mulai dari kepala, leher, dada dan perut serta melakukan pemeriksaan organ-organ untuk mengetahui adanya kelainan akibat kekerasan ataupun penyakit. Bila diperlukan dapat dilakukan pengambilan sampel isi lambung, darah, urin maupun sebagian jaringan untuk dilakukan pemeriksaan toksikologi atau histopatologi.

Berbeda dengan autopsi klinis, autopsi forensik dilakukan pada kasus kematian yang mencurigakan, disertai kekerasan, atau tidak diketahui penyebabnya. Autopsi Forensik dilakukan setelah ada permintaan dari penyidik yang berwenang sesuai dengan Pasal 133 KUHAP ayat (1) yang berbunyi “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Pasal 133 KUHAP ayat (2) yang menyebut “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Kemudian ekshumasi merupakan tindakan penggalian kembali jenazah yang telah dikubur. Tujuan dari prosedur ini adalah untuk kepentingan peradilan sebagai upaya membuktikan suatu kasus dengan mengidentifikasi jenazah guna memastikan penyebab kematian.

Menurut Edi, dasar hukum penggalian mayat adalah Pasal 135 KUHAP yang menyatakan “Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1). Menurutnya, kasus ini akan menjadi pembelajaran. Semoga penegakan hukum di negeri tercinta ini menjadi lebih baik dengan prosedur yang benar, imparsial, independen dan transparan,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait