Melawan Penal Populism
Kolom

Melawan Penal Populism

Penjatuhan hukuman mati nyatanya hanya memuaskan masyarakat sesaat saja. Pidana mati yang dijatuhkan tidak berfokus pada langkah-langkah solutif atas akar masalah penyebab kejahatan.

Bacaan 5 Menit

Sebagai contoh, Pasal 100 ayat (1) KUHP baru menyebutkan, “Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:a. Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. Peran terdakwa dalam Tindak Pidana.” Pertanyaannya, apakah jika hakim tidak melihat kedua faktor tersebut, hukuman mati tetap akan dijatuhkan? Hakim masih memiliki ruang diskresi yang begitu besar untuk menghukum mati atau sebaliknya.

Lebih jauh lagi, berdasarkan aturan internasional hukuman mati juga bertentangan dengan Pasal 6 Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Walaupun masih diperbolehkan, konvensi ini hanya memperkenankan pidana mati dijatuhkan pada the most serious crimes.

Masih berdasarkan aturan internasional, vonis mati yang masih juga dijatuhkan di Indonesia pun tidak sesuai dengan janji Indonesia dalam UU No. 5 Tahun 1998. Isinya adalah ratifikasi atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Indonesia harusnya berkomitmen penuh terhadap nilai-nilai HAM dengan memperbaiki pidana dan pemidanaan yang lebih bermartabat.

Menghentikan Penal Populism

Langgengnya praktik vonis hukuman mati dan pelanggaran HAM lainnya tidak terlepas dari cara pandang pejabat. Mungkin mereka nyaman dengan status quo. Narasi-narasi pro hukuman mati—bahkan menembak mati seseorang yang belum diadili di pengadilan—terus diproduksi.

Hal itu tercermin misalnya dari pernyataan Panglima TNI Yudo Margono. Ia mengatakan akan menghukum mati anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang menyiksa berujung kematian seorang warga. Kasus lainnya, sejumlah pejabat Polri—antara lain Kapolda Banten dan Kapolda Jawa Barat—meminta anak buahnya menembak di tempat para pelaku kejahatan khususnya begal. Selain itu, ada Walikota Medan Boby Nasution yang meminta agar begal ditembak mati.

Dalam konteks akademis, berbagai fenomena ini dapat dikategorikan sebagai penal populism. Fenomena ini menjelaskan bahwa penjatuhan hukuman mati nyatanya hanya memuaskan masyarakat sesaat saja. Pidana mati yang dijatuhkan tidak berfokus pada langkah-langkah solutif atas akar masalah penyebab kejahatan. Penjatuhan pidana mati juga ingin memunculkan ketenangan dan kepuasan masyarakat, tapi sifatnya semu serta sesaat saja.

Perlu diingat, hukuman mati yang telah dijatuhkan tidak dapat dikembalikan atau bersifat irreversible. Sangat jahat apabila orang yang dihukum dengan dihilangkan nyawanya ternyata tidak bersalah. Pelajaran dalam film Miracle in Cell No.7 tentu dapat menjadi contoh yang baik. Terlebih, penegakan hukum di Indonesia masih berkutat pada masalah yang sama yakni kultur integritas aparat masih jauh dari ideal. Sistem yang masih carut-marut itu tak jarang mengabaikan prinsip fair trial, khususnya dalam sistem peradilan pidana. Peristiwa-peristiwa penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan, malicious prosecution, wrongful conviction, salah penerapan hukum, kesulitan akses bantuan hukum, masih terlalu sering mewarnai potret penegakan hukum di Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait