Memahami Perkembangan Hukum dan Bisnis Fintech di Indonesia
Utama

Memahami Perkembangan Hukum dan Bisnis Fintech di Indonesia

Adanya kenyamanan, kecepatan, keamanan dan kepercayaan konsumen kepada bisnis digital membuat bisnis digital masih dipilih.

CR-27
Bacaan 4 Menit
Webinar Hukumonline bertajuk Memahami Perkembangan Hukum dan Bisnis dalam Financial Technology di Indonesia. Foto: RES
Webinar Hukumonline bertajuk Memahami Perkembangan Hukum dan Bisnis dalam Financial Technology di Indonesia. Foto: RES

Finansial Teknologi atau Fintech merupakan instrumen yang sangat luas wilayah penggunaannya dan sangat aplikatif di berbagai sektor. Semakin hari semakin banyak perkembangan yang berkaitan dalam sektor fintech, khususnya dalam aktivitas bisnis. Pemahaman mengenai aspek regulasi fintech sangat krusial. Untuk itu diperlukan pemahaman baik mengenai regulasi yang sudah ada ataupun regulasi yang tengah berkembang.

Melalui webinar yang diadakan hukumonline, Selasa (14/12), bertajuk Memahami Perkembangan Hukum dan Bisnis dalam Financial Technology di Indonesia, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Financial Technology OJK Periode 2017-2020, Hendrikus Passagi, mengatakan masifnya perkembangan bisnis digital saat ini.

“Adanya kenyamanan, kecepatan, keamanan dan kepercayaan konsumen kepada bisnis digital membuat bisnis digital masih dipilih. Meski para konsumen masih sering menjadi korban terkait data perlindungan konsumen, namun perkembangan teknologi terbukti memberi rasa kepercayaan bagi penggunanya,” ungkap Hendrikus.

Selain aspek legal, Ia melanjutkan teknologi bisa memberikan perlindungan dan meningkatkan rasa kepercayaan dari para pengguna. Dari sisi konsumen yang memilih mode digital dikarenakan berbagai macam faktor. (Baca: Masyarakat Diimbau Waspada Penawaran Aset Kripto)

“Ada beberapa hal yang menjadikan konsumen memilih mode digital dalam bisnis mereka, yaitu akses pendanaan, pemasaran, penentuan harga, pengiriman logistik, jaminan barang-barang yang dikirim, kemudahan pembayaran, kelanjutan usaha, ekspansi dikemudian hari dan jaminan masa tua para pelaku usaha,” jelasnya.

Hendrikus turut menyinggung aspek legal kripto yang kini tengah digandrungi sebagai mata uang digital di bursa berjangka sekaligus fintech terbarukan. “Aspek legal kripto sudah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1997 yang diubah dengan UU No.10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi,” lanjutnya.

Ia menekankan, komoditi dalam UU tersebut adalah segala barang, jasa dan hak atau kepentingan lain yang dapat diperdagangkan dan dapat menjadi underline dalam berjangka. Kaum milenial yang penuh akan ide-ide terbarukan dapat menjadi komoditi sebagai bentuk bisnis digitalnya. Saat ini sudah ada 229 aset kripto yang bisa diperdagangkan.

Selain kripto, Kementerian Koperasi juga telah menerbitkan Permen No.8 Tahun 2021 tentang Koperasi dengan Model Multipihak. Koperasi multipihak ini untuk melayani anggota, tapi juga bisa melayani masyarakat lain yang bukan anggota. Menurut Hendrikus, adanya koperasi multipihak ini memungkinkan terjadinya transaksi bisnis sekelas e-commerce. 

“Koperasi pun kini bisa membangun platform transaksi bisnis sekelas platform e-commerce dengan badan hukum koperasi, yang menjadi pembeda adalah jika ada peningkatan linier dan eksponensial, maka seluruh anggota koperasi merasakan keuntungan yang sama dan tidak ada jarak di antara si kaya dan si miskin,” jelasnya.

Hukumonline.com

Saat ini koperasi bisa diubah ke model multipihak kecuali koperasi simpan pinjam. Hendrikus menegaskan koperasi simpan pinjam berbeda dengan Peer to Peer (P2P) lending karena P2P lending adalah jasa marketplace dalam mempertemukan antar pihak.

Fenomena fintech yang semakin berkembang tentu memiliki risiko, baik usaha online ataupun usaha offline. Risiko fraud atau dana, seperti pemalsuan data menjadi rentan ketika memulai bisnis. Untuk menghindari pemalsuan data, misalnya, Hendrikus menekankan agar pelaku usaha harus menggunakan tanda tangan digital yang berinduk di sentral untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sejalan dengan hal itu, Founding Partner Harvady, Marieta & Mauren Law Firm/Komite Etika Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Windri Marieta, menyebut dalam praktik banyak ditemui permasalahan dalam penyelenggaran fintech. “Banyak aspek hukum yang terlewati dalam menaati ketentuan dalam fintech. Bahkan apa yang telah tertulis jelas di POJK No. 77 Tahun 2016 yang merupakan satu sumber hukum pun terkadang terlewati dalam praktiknya,” ungkapnya.

Menurut Windi, ada beberapa aspek penting yang perlu diketahui oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis fintech P2P lending. Fakta bahwa tidak semua konsultan hukum memahami bahwa penyelenggaraan berbasis P2P lending masuk ke pedoman perilaku. Dalam Pasal 48 POJK No.77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dinyatakan bahwa penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang ditunjuk oleh OJK.

OJK telah menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) sebagai wadah penyelenggara P2P lending. AFPI memiliki pedoman perilaku yang mengatur hal-hal yang belum diatur secara lengkap dalam POJK No. 77 Tahun 2016, seperti bunga dan penagihan.

Pedoman ini dibuat untuk melakukan pengaturan secara mandiri dalam sektor pendanaan dan juga melindungi hak-hak dan kepentingan platform penyelenggara dalam menjaga persaingan yang sehat dan adil, serta mempromosikan perkembangan yang sehat dan teratur terkait dengan P2P lending.

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah penerapan good corporate government. Windi menjelaskan, aspek ini disarankan untuk memiliki ceklist standar operating prosedur (SOP) dan senantiasa diperbarui untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari pedoman perilaku AFPI.

“Dengan berkembangnya fintech P2P lending yang berkembang sangat pasif di Indonesia, terdapat urgensi untuk menjaga reputasi industri dan kepercayaan konsumen dari praktik-praktik yang tidak bertanggungjawab,” katanya.

Sehubungan dengan hal tersebut, AFPI melakukan pengaturan mandiri dari sektor pendekatan fintech untuk melayani anggota dan melindungi hak-hak dan kepentingan mereka dan untuk menjaga persaingan yang sehat dari sektor pendanaan digital.

Ia melanjutkan, dalam P2P lending memiliki klausul umum dalam perjanjian antara penyelenggara fintech P2P lending dan pemberi pinjaman, yaitu adanya persyaratan minimum dalam perjanjian pada Pasal 19 ayat 2 POJK No. 77 tahun 2016 dan pemberian kuasa dari pemberi pinjaman kepada penyelenggara fintech P2P lending

Dalam praktiknya terdapat temuan yang tidak lengkap. Penerapan total bunga dan biaya pinjaman serta biaya-biaya lainnya pun tidak sesuai dengan pedoman perilaku AFPI. Selain itu adanya penandatanganan perjanjian bukan oleh pihak yang berwenang juga turut menambah ketidaksinkronan dalam praktik penyelenggaraan P2P lending ini.

“Adanya klausula penyelesaian sengketa yang ambigu juga sering terjadi dalam praktik ini,” tambahnya.

Terakhir, Windi mengimbau adanya risiko bagi pengguna yang menggunakan fintech P2P lending yang tidak sesuai peraturan OJK. Untuk menghindari ini pastikan bahwa fintech P2P lending yang digunakan sudah terdaftar dan berizin OJK.

Tags:

Berita Terkait