Memaknai Pembatasan Imunitas Pejabat Negara Pasca Putusan MK
Kolom

Memaknai Pembatasan Imunitas Pejabat Negara Pasca Putusan MK

Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 telah memperjelas pemaknaan mengenai tidak adanya “kerugian negara” dalam kebijakan pembiayaan, stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional di masa Pandemi Covid-19 sepanjang tindakan/keputusan pejabat negara yang melaksanakan Perppu No.1 Tahun 2020 dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bacaan 10 Menit

Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 24 huruf f UU Administrasi Pemerintahan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), yang merupakan prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, diantaranya kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik, serta seluruh asas-asas lain di luar AUPB sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Salah satu prinsip dalam AUPB yang sering diperdebatkan adalah soal “tidak menyalahgunakan kewenangan. Menurut pandangan dari Philipus M Hadjon, yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang adalah penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian, pejabat melanggar Asas Spesialitas. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.

Sedangkan frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” ini sederhananya merujuk pada ketentuan Pasal 50 KUHP sebagai suatu alasan penghapus pidana yaitu sebagai alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrondren) yang menghapus elemen melawan hukum (wederrechtelijk) dari suatu perbuatan, yang dalam pemahaman penulis perlu dibedakan dengan alasan pemaaf yang menghapus sifat dapat dicelanya pelaku, sehingga menghilangkan pertanggungjawaban pidana atas suatu kesalahan (schulduitsluitingsgronden).

Sepanjang yang Penulis ketahui, selain Pasal 50 KUHP, dalam perkembangan pengaturan UU administrasi bersanksi pidana atau undang-undang lainnya yang memuat “pengecualian” berupa imunitas karena menjalankan sesuatu yang diatur atau diperintahkan oleh suatu undang-undang, ditemukan dalam Pasal 224 UU MD3 tentang imunitas anggota DPR dalam memberikan pandangan atau pertanyaan dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Dan juga ada dalam Pasal 16 UU Advokat yang mengatur hak imunitas dari advokat ketika menjalankan profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan kliennya dalam sidang pengadilan.

Menurut pandangan Utrecht, sebagaimana dikutip oleh Eddy OS Hiariej, pada awalnya ketentuan undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 50 KUHP hanyalah undang-undang dalam arti formil. Dalam hal ini peraturan yang dibuat oleh DPR dan Presiden, namun dalam perkembangannya diartikan secara luas atau undang-undang dalam arti materiil yaitu segala peraturan umum yang bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada Arrest Hoge Raad 26 Juni 1899, W. 7307. Bahkan lebih dari itu, melaksanakan ketentuan “undang-undang” termasuk didalamnya adalah “melaksanakan suatu kekuasaan” sebagaimana pertimbangan Hoge Raad dalam putusannya tertanggal 28 Oktober 1895.

Lalu, terbesit dalam benak Penulis yaitu apakah kebijakan-kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah dalam penanganan Pandemi Covid-19, misalnya dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bahkan kecepatan berubahnya cukup sering, serta hanya ditentukan oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) yang bukan termasuk regeling atau beschiking terus-menerus  berubah dengan alasan menyesuaikan dengan level-level penyebaran virus corona dapat dikualifikasikan sebagai ketentuan “undang-undang” atau setidaknya untuk “melaksanakan suatu kekuasaan”?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya dapat dijawab dengan salah satu postulat yang dikemukakan oleh Cicero, yaitu “in times of war the laws fall silent”, yang artinya dalam keadaan perang (melawan pandemi Covid-19), hukum seolah-olah menjadi tertidur. Postulat yang disampaikan oleh Cicero boleh jadi mengundang perdebatan di kalangan ahli hukum, khususnya di masa Pandemi. Namun demikian adagium latin yang lain juga menggambarkan pemikiran serupa, misalnya necessitas non habet legem” yang artinya dalam keadaan darurat “tidak berlaku” hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait