Memanggil Pemimpin
Tajuk

Memanggil Pemimpin

Presiden diharapkan mampu menjadi pemimpin yang berdiri paling depan, membawa bangsa Indonesia selamat dari badai gelap, menuju masa depan yang lebih cerah.

RED
Bacaan 8 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Setelah penghitungan suara yang menegangkan dunia berakhir, pemilu AS agaknya diselesaikan dengan Biden-Harris sebagai calon penghuni baru Gedung Putih. Pasangan ini dipecaya mayoritas sederhana pemilih AS bisa membawa mereka kepada wajah AS yang dipermak ulang, menjadi lebih ramah, peduli orang kecil, tidak rasis, menjadi super power yang tidak sok kuasa, dan lebih merangkul siapapun sebagai teman. Justru semua hal yang dilakukan Trump secara kebalikannya. 

Dunia tersedot perhatiannya akan harapan perubahan besar dalam kepemimpinan puncak AS, setelah kita semua mengalami situasi mencekam selama 4 tahun terakhir selama AS, negara terbesar dunia, di bawah kendali pemerintahan Trump. Mayoritas rakyat AS berdasarkan popular votes dan electoral votes menghendaki Biden dan Harris membawa perubahan. Ekonomi membaik, ekonomi mikro bangkit, pandemi covid-19 terkendali, perlakuan rasial dikikis habis, kebijakan imigrasi lebih manusiawi, program kesehatan rakyat lebih terjangkau, dan suara-suara kebencian dan kebohongan dari Gedung Putih berubah menjadi ajakan perdamaian ke seluruh penjuru dunia.     

Trump bukan untuk masa depan AS dan dunia. Trump harus lengser. Biden belum meyakinkan, dan harus bekerja keras untuk  membuktikan dia bisa melakukan perubahan besar, membanting setir AS yang sudah diubah wajahnya oleh Trump menjadi ancaman, ketidakpastian, dan momok memalukan bukan saja bagi mayoritas rakyat AS tapi juga bagi dunia. Biden dan Harris akan memfokuskan upayanya untuk melakukan perbaikan menyeluruh untuk menyatukan bangsanya yang terbelah, membangun ulang institusi dan mental birokrat yang telah drusak oleh Trump. Dan ini merupakan perjalanan panjang 1 atau 2 tahun ke depan, belum cukup untuk dirasakan dampak positifnya bagi negara-negara lain, tetapi cukup untuk menghilangkan kecemasan dan kekesalan menghadapi Trump selama 4 tahun terakhir ini, dan cukup untuk merajut harapan-harapan baru dunia yang lebih bermartabat.   

Ketika dunia resah, bergolak, dan terancam bahaya, pemimpin hadir. Muncul ke depan. Pemimpin memberikan alternatif jalan keluar bagi warganya untuk selamat dari marabahaya dan ancaman. Sukarno muncul ketika dunia merapal bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan bangsa Indonesia sudah menjerang harapan sejak awal abad 20, menyiapkan Indonesia merdeka. Suharto, mendadak muncul ketika terjadi huru hara 1965 dengan latar cerita konspirasi. Habibie secara konstitusional muncul ketika krisis menjatuhkan Suharto, dan dituntut publik untuk melakukan reformasi yang tidak bisa ditunda lagi. Gus Dur terpilih ketika sosoknya menawarkan keterbukaan, kesetaraan dan pluralisme, beberapa prinsip demokrasi yang menjadi kebutuhan saat itu. Megawati hadir ketika proses politik praktis menjungkirkan Gus Dur. 

Selanjutnya adalah cerita demokrasi, di mana para pemimpin kemudian dipilih secara politis melalui pemilihan umum yang sering disebut salah satu yang terbaik di dunia. Joko Widodo dipilih ketika rakyat bosan dengan elit penguasa, dan butuh demokrasi yang lebih segar. Fokus Jokowi pada program sosial dan pembangunan infrastruktur merupakan jawaban langsung atas kegagalan para pemimpin sebelumnya untuk membangun sektor ini. Infrastruktur diharapkan jadi salah satu cara menuju keadilan dan perbaikan taraf hidup bagi rakyat yang selama ini terisolasi dari jangkauan ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan dan partisipasi politik. 

Dalam wacana paradigma pembangunan sekarang ini, di mana cara melihat pertumbuhan ekonomi dipertanyakan, efek globalisasi yang memperkaya negara dan orang kaya dan memiskinkan yang miskin, ekonomi liberal dan pasar modal yang memfasilitasi arus uang secara terbalik dari negara berkembang ke negara kaya, dan kekuatan pembangunan manusia, kolaborasi egaliter, dan peradaban menjadi lebih penting, maka arah pembangunan kita juga perlu terus dipertanyakan ulang dan ditinjau kembali. Karena pemimpin adalah mereka yang mengambil keputusan atas nama negara, maka kehadiran pemimpin yang pas untuk zamannya, dengan persoalan kawulanya, menjadi soal yang teramat penting.   

Ketika sebagian besar dunia masih dilanda resesi, kita akhir tahun lalu dikejutkan oleh pandemi Covid-19, yang semula dianggap remeh oleh pemimpin negara besar seperti AS, Inggris dan lain-lain. Tidak terkecuali Indonesia. Kenyataan sekarang membuat kita semua terdiam. Kita takluk, merunduk, tetapi harus tetap hidup dan walaupun terseok kita harus tetap trengginas mencari jalan keluar. Salah satunya adalah pengadaan vaksin. Tetapi bukan itu yang paling efektif, kata para ahli. Yang lebih dibutuhkan adalah disiplin masyarakat untuk menaati protokol kesehatan dengan menjalankan 3-M, dan kewajiban pemerintah menjalankan 3-T. 

Sampai saat ini belum ada vaksin anti Covid-19 yang diakui oleh WHO, sebagai badan kesehatan dunia yang paling berwenang, disetujui untuk diaplikasikan kepada manusia. Sejumlah calon vaksin masih harus melalui uji coba tahap 3 untuk keamanan, efikasinya serta sejumlah kriteria lainnya yang dibutuhkan untuk menekan laju pandemi. Ketika vaksin tersebut nanti lolos tahap akhir uji, dan kemudian didistribusikan dan disuntikkan kepada masyarakat. 

Menurut para ahli virus Covid-19 ini masih tetap akan berada di antara kita sampai beberapa tahun ke depan, mungkin selamanya seperti halnya virus influensa yang masih ada sejak 100 tahun yang lalu dan terus bermutasi sampai dengan hari ini. Mungkin sampai akhir 2021 sekitar 30% penduduk dunia masih akan terancam bahaya Covid-19, tetapi dengan 70% penduduk sudah menjadi sementara kebal, maka kehidupan diharapkan kembali berjalan dengan kenormalan baru. Artinya pemerintahan, pendidikan, fasilitas publik, bisnis dan kehidupan sosial berjalan penuh dengan menerapkan protokol kesehatan, dan orang yang berisiko tetap harus sangat hati-hati waktu ikut beraktivitas. 

Periode sejak Maret 2020 sampai dengan saat ini masih menimbulkan banyak pertanyaan besar tentang: apa sebenarnya kebijakan yang diberlakukan pemerintah Indonesia. Apakah suatu sikap yang tegas, terencana,  dengan menghitung risiko dan biaya dengan cermat seperti dilakukan di China, Taiwan, Korsel, Singapore, ataukah cukup mengikuti arus dan perkembangan dunia dalam penanganan Covid-19 karena ini betul-betul merupakan unprecedented risks? Bagaimana garis komando dijalankan secara efektif dengan begitu banyak pemimpin silih berganti diberi wewenang? Vaksin apa nanti yang akan diberikan kepada warga kita, berapa kali harus disuntikkan, berapa lama efektivitasnya, siapa yang mendapat prioritas, bagaimana efek samping jangka panjangnya, bagaimana distribusinya, dan bagaimana pembiayaannya? Kita mendengar pemerintah sudah berkali-kali memberikan informasi tentang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Pertanyaan besarnya, bagaimana akurasi dari informasi tersebut di tengah ketidaktahuan dunia tentang pandemi ini? Kalau bukan pemerintah, siapa lagi yang kita percayai? Ini merupakan rentetan pertanyaan-pertanyaan wajar yang pasti memenuhi benak kita semua. Jawaban pertamanya mungkin bisa sesederhana ini, kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengendalikan pandemi dengan efektif.

Bukan kebetulan bahwa pemimpin tertinggi kita yang resmi adalah Presiden. Kalau ditanyakan kapan kita membutuhkan pemimpin yang paling mumpuni untuk menjaga nyawa, kesehatan dan kelangsungan perekonomian kita, keluarga dan masyarakat di sekeliling kita saat ini, maka tidak ada waktu yang lebih tepat dari saat ini. Presiden harus tetap berada di garda terdepan. Membuat kebijakan dan menjawab semua pertanyaan di atas dengan ketegasan yang selama ini dimilikinya. Presiden bukan hanya terdepan waktu kita sedang giat membangun, tetapi juga waktu kita berada dalam krisis waktu menghadapi ancaman dan bahaya besar yang memasuki ruang-ruang publik sampai kamar tidur kita.

Pada saat ini, Presiden tidak punya pilihan mewah, karena beliau berada pada posisi yang sungguh sulit menghadapi begitu banyak masalah yang sekaligus melanda, bukan hanya Indonesia, tetapi juga dunia. Kalau Presiden Jokowi menghendaki suatu legacy, mungkin sebaiknya beliau tidak dikenang semata sebagai Presiden yang berhasil membangun infrastukur Indonesia menjadi negara modern dan siap bersaing di kancah dunia, tetapi juga sebagai penyelamat bangsa Indonesia dari keterpurukan karena pandemi Covid-19. Bukan saja Presiden menyelamatkan ekonomi dan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tetapi juga menyelamatkan jiwa suami, isteri, orang tua, anak-anak dan cucu-cucu kita. 

Terkait masalah pandemi Covid-19, sebagai pemimpin tertinggi, wewenang harus tetap dipegang oleh Presiden. Tetapi ini bukan soal satu orang, Indonesia begitu luas, begitu banyak penduduknya, begitu tersebar dan begitu banyak dan beragam permasalahan dan kepentingannya. Kalau New Zealand yang relatif kecil punya Jacinda Arden yang begitu sukses membendung pandemi, maka kita perlu 34 Jacinda untuk 34 provinsi kita. Jadikan mereka pemimpin efektif di daerahnya yang memimpin sendiri penanganan pandemi dengan pendekatan khas mereka. Ada sejumlah gubernur dan kepala daerah yang mau mendengar dan menerapkan petunjuk ahli pandemi dalam kebijakan daerah mereka. 

Kita juga punya 10.000 lebih Puskesmas di seluruh Indonesia yang bisa ditingkatkan fungsinya menjadi pusat informasi, pendidikan dan vaksinasi anti-Covid-19. Kita punya sistem komunikasi berbasis desa dan RT-RW untuk melakukan testing, tracing dan isolasi. Kita punya cara untuk mempengaruhi masyarakat untuk patuh protokol Covid-19 melalui tokoh agama dan masyarakat. Kita mempunyai basis media sosial termasuk yang paling banyak dan aktif di dunia. Masyarakat kita, yang dikenal punya semangat gotong royong yang tinggi, masih bisa dikerahkan untuk membuat dapur umum dan menyantuni tetangga di sekitarnya yang mempunyai kesulitan ekonomi. Ada ribuan pemimpin yang bisa membantu Presiden menghadapi perang ini. Ajaklah mereka, ulurkan tangan dan kehangatan, tanpa memandang perbedaan pandangan dan kepentingan politik, untuk ikut dalam barisan penggebuk paglebuk.

Masalah ekonomi sama pentingnya, setelah ancaman pandemi bisa dikendalikan. Dikatakan bahwa investasi baik langsung atau melalui pasar modal merupakan salah satu soko guru perekonomian kita. Konstitusi dan banyak aturan perundangan serta kebijakan lainnya yang lebih teknis juga mengatakan bahwa ekonomi rakyat (UMKM) merupakan pemain terbesar dalam perekonomian kita. Katanya juga, bangunnya ekonomi kita tergantung seberapa liat UMKM bertahan dan hidup berkembang bersama dengan pemain besar. Krisis moneter dan ekonomi tahun 1998 membuktikan itu semua. 

Dalam banyak survei, dan dalam banyak interaksi dengan para investor asing, masalah perizinan, konsistensi regulasi, korupsi dan integritas penyelesaian sengketa menjadi sandungan bagi mereka untuk memilih Indonesia sebagai tempat investasi. Dalam pikiran para pembuat Undang-Undang Cipta Kerja, mungkin tiga soal besar pertama itu yang menjadi dasar filosofi undang-undang ini. Masalah integritas penyelesaian sengketa belum mendapat prioritas, karena selalu ada kekhawatiran (yang tidak perlu) dari pemerintah dan parlemen bahwa mereformasi sistem peradilan seperti merupakan intervensi ke bidang judisial. Presiden juga harus ada di depan untuk memimpin proses ini. Yang harus diingat adalah bagaimana kebijakan tersebut dibuat dengan taat prosedur. 

Prosedur pembuatan peraturan perundangan diciptakan untuk menjamin semua persyaratan minimal dipenuhi. Tinjauan akademis, dampak kebijakan, masukan pihak yang terdampak, tujuan yang akan dicapai, manfaatnya buat negara dan masyarakat luas, transparansi dalam proses pembuatan kebijakan, keterlibatan publik, itu semua sudah menjadi proses yang baku dan menjadi ketentuan undang-undang. Kebijakan legislasi yang melalaikan prosedur ini sudah pasti akan kehilangan legitimasinya. Masih ada jalan keluar untuk memperbaikinya (Lihat: Undang-undang Sikat Saja) dan pengalaman ini harus dijadikan pegangan dalam melakukan proses legislasi di masa depan.  

Hal lain yang dirasakan dan tidak selalu dapat dibuktikan, adalah kecenderungan digunakannya pendekatan kekuasaan dalam menanggapi kritik. Pembungkaman kritik dengan kriminalisasi, kekerasan terhadap pendemo, dan tuduhan dan framing negatif di media sosial terhadap para pengkritik merupakan kemunduran besar dalam demokrasi kita. Demokrasi kita tumbuh karena kritik yang sehat. Kalau kita tanyakan patriotisme dari para pengkritik itu, mereka akan menjawab bahwa merah putih ada di dadanya, dan NKRI adalah harga mati, dan yang mereka lakukan adalah tanggung jawab mereka untuk ikut merawat Indonesia. 

Presiden perlu memerintahkan para pembantunya, terutama para penegak hukum, untuk mulai menggunakan pendekatan yang lebih bermartabat dalam melakukan dialog dengan para pengkritik. Pengkritik yang menginginkan perbaikan kebijakan publik harus dibedakan dengan pemberontak yang ingin memisahkan Indonesia atau gerakan radikal yang ingin merusak keberagamanan Indonesia, dan petualang politik yang ingin memanfaatkan segala kericuhan untuk mendongkrak posisi politik mereka. Pembantu Presiden yang baik bisa melihat itu tanpa suryakanta. 

Di tengah pandemi, resesi dan mundurnya demokrasi kita itu, Presiden masih diharapkan mau dan mampu untuk menjadi pemimpin yang berdiri paling depan, membawa bangsa Indonesia selamat dari badai gelap, menuju masa depan yang lebih cerah.

Ats - Sentul, 15 November 2020

Tags:

Berita Terkait