Membedah Ambiguitas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja
Utama

Membedah Ambiguitas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

Sebagai langkah awal, pembentuk undang-undang diminta harus mencabut UU Cipta Kerja karena sudah terbukti cacat formil. Lalu, DPR dan Pemerintah segera mengubah keseluruhan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya memasukkan metode omnibus law.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

Selain melarang pembentukan peraturan pelaksana, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja juga melarang Pemerintah mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas yang didasarkan pada UU Cipta Kerja. Hal ini berpotensi disalahtafsirkan oleh Pemerintah sebagai pengambil kebijakan mengingat putusan MK ini tidak memberikan ukuran ataupun definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan “kebijakan strategis dan berdampak luas”. 

Persoalan akan timbul, misalnya, dalam kaitan kebijakan tentang upah buruh yang didasarkan pada PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Kelompok buruh berpandangan kebijakan pengupahan bersifat strategis dan berdampak luas, sehingga perlu ditangguhkan selama jangka waktu UU Cipta Kerja diperbaiki. Sementara Pemerintah akan berpandangan bahwa PP tersebut merupakan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang lahir sebelum putusan MK, sehingga dapat langsung diterapkan.

Ketiga, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja adalah teguran bagi Pemerintah untuk serius melaksanakan reformasi regulasi. Dalam putusannya, MK meminta Pemerintah untuk memasukkan ketentuan mengenai metode omnibus ke dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal itu harus dilakukan sebagai permulaan sebelum Pemerintah dan DPR menyusun ulang UU Cipta Kerja berdasarkan tata cara yang telah ditetapkan. 

Perintah MK itu sekaligus memberikan kritik terhadap pola pikir Pemerintah yang selama ini memahami reformasi regulasi seolah-olah terbatas pada simplifikasi dan pemangkasan regulasi. Putusan MK ini menjadi ujian penting bagi politik legislasi Pemerintah yang amat mengandalkan “undang-undang omnibus” sebagai satu-satunya strategi yang dipilih dalam melakukan pembenahan regulasi.

Keempat, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja menegaskan vitalnya partisipasi masyarakat dalam proses legislasi. Kritik publik yang menilai pembentuk UU Cipta Kerja mengabaikan prinsip keterbukaan dan partisipasi semakin dikukuhkan oleh MK. Dalam putusannya, MK menyebutkan keterlibatan masyarakat harus diwujudkan dalam “partisipasi yang bermakna” atau meaningful participation yang tidak hanya terbatas pada unsur keterwakilan ataupun pada apa yang diatur secara normatif dalam undang-undang. Partisipasi yang bermakna itu harus tercermin dalam tahap penyusunan, pembahasan, hingga pengundangan. 

Putusan MK juga menyatakan pembentuk undang-undang perlu menjamin masukan yang substansial dari publik benar-benar dipertimbangkan dalam mengambil keputusan, bukan sekadar didengar secara formalitas. Jangan sampai kegiatan seremonial justru dijadikan dalih bahwa pembuat kebijakan telah menyerap aspirasi tanpa tindak lanjut, sebagaimana terjadi pada banyak produk legislasi belakangan. 

Karena itu, PSHK meminta DPR dan Pemerintah harus mengajukan pencabutan UU Cipta Kerja karena sudah terbukti cacat formil dalam proses pembentukannya. DPR dan Pemerintah segera melakukan perubahan menyeluruh atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak terbatas hanya untuk memasukkan pengaturan yang jelas mengenai penggunaan metode omnibus, tetapi juga untuk memasukkan aturan untuk menciptakan sistem pengelolaan peraturan perundang-undangan yang lebih baik.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait