Membedah Ambiguitas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja
Utama

Membedah Ambiguitas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

Sebagai langkah awal, pembentuk undang-undang diminta harus mencabut UU Cipta Kerja karena sudah terbukti cacat formil. Lalu, DPR dan Pemerintah segera mengubah keseluruhan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya memasukkan metode omnibus law.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

“Dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materil, apakah itu berarti Putusan MK 91/2020 telah menjadi dasar terjadinya ‘impunitas konstitusi’ bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD 1945?”

Ambigu keempat, karena mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas, putusan MK menimbulkan multitafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak. Ada dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam 2 tahun. Pihak lain berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali.

Atas dua pendapat itu, sebenarnya MK telah mencoba memberi kejelasan meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Cipta Kerja yang “strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu. Demikian pula tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan “strategis yang dapat berdampak luas”. Lebih jauh, tidak pula dibenarkan membentuk peraturan pelaksana baru.

“Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan ‘strategis’ dan ‘berdampak luas’?

Ambigu Kelima, dalam Putusan MK 91/2020 ini Mahkamah terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk dengan sangat baik mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Cipta Kerja. Namun, sayangnya MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formil perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat dan senyatanya menihilkan public participation.

“Terjadi disparitas antara hasil putusan yang teramat jauh. Jika mengacu pada Putusan MK 91/2020, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itupun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kritiknya lagi.

Meski begitu, bagaimanapun Putusan MK 91/2020 sudah final dan berkekuatan hukum tetap (final and binding) dan mau tidak mau harus dihormati. “Sekarang tersisa solusinya untuk pembuat undang-undang (Presiden, DPR, dan DPD) untuk segera melakukan perubahan atas UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan yang mengadopsi metode sapu jagat (omnibus law).

“Ini bisa menjadi landasan baku perbaikan UU Cipta Kerja. Lebih penting lagi, materi UU Cipta Kerja juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investasi semata yang menegasikan daulat dan hati rakyat pemilik Republik ini.”

Tags:

Berita Terkait