Memetakan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Terbaru

Memetakan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

UU 5/1990 memiliki sejumlah kelemahan dalam hal perlindungan sumber daya hayati pada tingkatan genetik, spesies, dan ekosistem. Peran aktif masyarakat dalam penentuan Kawasan Konservasi perlu diperkuat dalam draf RUU KSDAHE.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Nasib Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) masih berproses di DPR. Meski demikian, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai pihak yang punya kepentingan serupa terhadap perubahan aturan tersebut tengah menyerap masukan dari berbagai stakeholder. Setidaknya memetakan sejumlah isu dalam RUU tersebut untuk menjadi bahan bagi DPD dalam membahas RUU tersebut bersama DPR dan pemerintah nantinya.

Wakil Ketua Komite II DPD RI, Abdullah Puteh berpandangan DPD berkomitmen penuh dalam mendorong perubahan atas UU 5/1990. Menurutnya, perubahan terhadap sebuah UU adalah keniscayaan yang tak dapat dihindari. Apalagi perubahan UU 5/1990 dalam rangka mengikuti tuntutan perkembangan zaman. Sebab, usia UU 5/1990 sudan berusia 30 tahun yang mungkin telah kadaluarsa.

“Dan tidak sesuai dengan perkembangan situasi terbaru,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah pemangku kepentingan di Gedung DPD, Selasa (30/8/2022).

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Zenzi Suhadi berpandangan UU 5/1990 memang berhasil dalam menetapkan 25 juta hektar (ha) kawasan konservasi serta perlindungan spesies. Dia mengingatkan Indonesia merupakan satu dari tiga negara yang dijuluki mega biodiversity bersama Brasil dan Kongo (dulu Zaire, red).

Menurutnya, UU 5/1990 memiliki sejumlah kelemahan dalam hal perlindungan sumber daya hayati pada tingkatan genetik, spesies, dan ekosistem. Tak hanya itu, pemanfaatan sumber daya tersebut masih minimal dan perhatian terhadap partisipasi masyarakat yang masih agak sumir meski disebut berulang kali.

Zenzi mengingatkan tentang pelaksanaan perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan serta kultur dengan mengacu pada tradisi masyarakat sebagai bagian dari kekayaan budaya. Dia khawatir bila pencatatan kekayaan tersebut sebagaimana dalam Pasal 29 draf RUU KSDAHE dilakukan secara ceroboh. Akibatnya, dapat dicatatkan sebagai hak kekayaan intelektual (Haki) oleh lembaga farmasi.

“Sehingga masyarakat kelak akan membeli dari lembaga itu meski aslinya merupakan ‘resep’ milik masyarakat tradisional,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait