Menakar Kewenangan Kejaksaan dalam Tindak Pidana HKI
Kolom

Menakar Kewenangan Kejaksaan dalam Tindak Pidana HKI

Terbuka peluang berdasarkan Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Kejaksaan hasil amandemen. Namun, perlu sinkronisasi dengan rumusan delik aduan dalam perundang-undangan HKI.

Bacaan 5 Menit

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa setiap peningkatan 1% jumlah paten mampu berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06%. Hal ini menunjukkan bahwa bila jumlah paten naik 10% maka pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat 0,6%. Namun demikian, angka pelanggaran HKI di Indonesia masih cukup tinggi.

Merujuk pada data yang disampaikan DJKI, jumlah kerugian negara akibat pelanggaran kekayaan intelektual sejak 2015-2020 diperkirakan sebesar Rp291 triliun. Perlu dicatat Indonesia adalah bagian dari organisasi World Intellectual Property Organization (WIPO). Sejumlah konvensi terkait perlindungan HKI juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Pemerintah Indonesia jelas sangat berkewajiban untuk memberikan perlindungan pada setiap HKI yang telah didaftarkan di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan.

Kegagalan Pemerintah Indonesia dalam melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran HKI, termasuk tindak pidana, akan berdampak buruk. Indonesia bisa termasuk dalam daftar negara dengan tingkat pelanggaran HKI cukup berat. Daftar ini dikenal Priority Watch List (PWL) yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative). Hingga bulan April tahun 2023, Pemerintah Indonesia melalui DJKI telah berupaya untuk keluar dari PWL. Upaya ini mengharapkan dukungan regulasi, kemampuan sumber daya manusia, serta pemahaman masyarakat terhadap ketentuan HKI.

Penulis memahami bahwa pendekatan penyelesaian pelanggaran HKI berbeda dengan tindak pidana umum lainnya. Pertama,ketentuan pidana pada peraturan perundang-undangan HKI dengan syarat adanya aduan (klacht) dari pihak yang berkepentingan. Eksistensi lembaga delik aduan bertujuan agar jangan sampai penegak hukum melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana yang justru merugikan kepentingan korban atau pihak berkepentingan. Kedua, pihak yang berkepentingan—seperti pemegang HKI atau penerima lisensi atas HKI—lebih tertarik untuk menyelesaikan sengketa pelanggaran HKI melalui pengadilan niaga atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Alasannya karena dianggap lebih cepat, dapat meminta ganti rugi akibat pelanggaran HKI, serta memerintahkan pelanggar HKI untuk menghentikan segala tindakan yang berhubungan dengan pelanggarannya.

Kualifikasi tindak pidana di bidang HKI sebagai delik aduan membatasi kewenangan penegak hukum untuk mengusutnya tanpa ada aduan terlebih dahulu dari pihak berkepentingan.Hal ini terefleksikan melalui jumlah penyidikan tindak pidana HKI di Indonesia sejak tahun 2015 sampai tahun 2021 hanya mencapai 1.184 perkara.

Tingginya tingkat pelanggaran HKI di Indonesia sebenarnya berdampak langsung pada hal-hal sebagai berikut: a) penjualan barang/jasa palsu yang dapat merugikan masyarakat; b) penjualan barang/jasa yang menggunakan merek yang identik dengan merek tertentu sehingga membuat masyarakat menjadi keliru (misleading); c) hilangnya pendapat negara berupa pajak atas royalti HKI yang dilisensikan kepada pihak tertentu; d) hilangnya pendapatan negara berupa pajak atas penjualan/pemanfaatan barang/jasa yang telah dilindungi hak kekayaan intelektualnya; e) menghambat investasi terhadap kekayaan intelektual yang ada di Indonesia; f) menghambat masuknya teknologi yang berpotensi menggerakan pembangunan nasional karena investor tidak bersedia kekayaan intelektual berupa paten dilanggar oleh pihak tertentu; dan g) menghambat inovasi, kreativitas, serta ekonomi kreatif di Indonesia yang sedang dibangun oleh Pemerintah Indonesia.

Terkait tindak pidana HKI yang merugikan perekonomian negara, mari merujuk Penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Kejaksaan. Kerugian perekonomian negara dapat dipahami sebagai kerugian terhadap kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait