Mendorong Keterbukaan Informasi Publik demi Transparansi dan Akuntabilitas Kebijakan
Terbaru

Mendorong Keterbukaan Informasi Publik demi Transparansi dan Akuntabilitas Kebijakan

Masifnya penggunaan internet, menimbulkan ketiadaan filter informasi sehingga masyarakat butuh akses informasi publik yang akurat. Karenanya diperlukan peningkatan tata kelola informasi publik.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Editor senihor Hukumonline, Muhammad Yasin menilai perkembangan keterbukaan informasi publik mengalami perubahan pasca-reformasi dibandingkan periode orde baru. Namun merujuk data World Bank, menurut Yasin posisi Indonesia masih stagnan. Setidaknya Indonesia belum bergeser dari angka dari 0,54-0,53 mulai tahun 2012-2013, penilaian pertama hingga 2022

“Indonesia hanya beranjak 0,1 padahal sudah 15 tahun UU KIP. Di UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (30/2014) sudah ada kewajiban terbuka, tapi berdasarkan data hanya 0,53,” ujarnya.

“Saya memiliki istilah ‘like a swimming swan’ yang artinya iringan-iringan angsa itu sangat indah, namun di bawah permukaan air itu sangat tidak diketahui,” imbuh Yasin.

Konsekuensi demokrasi

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) FH Universitas Trisakti, M Imam Nasef berpendapat, keterbukaan informasi publik merupakan konsekuensi demokrasi. Keterbukaan informasi publik penting dilakukan karena masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan publik. “Bagaimana mungkin masyarakat memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan publik jika lembaga publik tidak terbuka,” kata dia.

Dia menunjuk instrumen hukum telah ideal, namun implementasi masih tidak optimal. Untuk itu, keterbukaan informasi publik ini perlu kekuatan politik dari pemerintah dan DPR.  Sepertihalnya dalam pembentukan UU banyak acapkali menuai banyak kritikan dan cibiran dari publik. Seperti pembentukan UU yang sedemikian cepat.

“Ada UU KPK, Minerba dan terakhir Omnibus Law Cipta Kerja. Permasalahan utamanya tidak ada partisipasi dan transparansi. Kenapa menuai resistensi keras dan masif karena draftnya saja tidak pernah disebarluaskan ke publik,” katanya.

Seiring digitalisasi informasi, menurut Imam terdapat sisi positif dan negatif dalam keterbukaan informasi. Dia menilai skema transparansi seharusnya lebih mudah diakses masyarakat namun memiliki tantangan disinformasi. karenanya, perlu integrasi peraturan perundangan khususnya yang bersinggungan dengan keterbukaan informasi publik.

Dosen FH Trisakti Ali Rido menambahkan UU 14/2008 memiliki 2 bagian. Yakni garansi hak warga negara dan kewajiban dari setiap badan publik dalam memberikan informasi kepada warga negara melalui data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya, permasalahan ketidaksinkronan informasi merupakan permasalahan akut yang terjadi di badan publik Indonesia.

Ali menunjuk kasus Rempang misalnya. Menurutnya, bagian badan publik harus memiliki moral effort dalam menyajikan data atau informasi. Dalam kasus terbaru di Rempang, pihak  kementerian terkait menyampaikan 300 kepala keluarga menyetujui di relokasi. Namun di saat bersamaan, Ombudsman meragukan karena penolakan masif terjadi.

“Kehadiran Keterbukaan Informasi bukan sekadar menggaransi hak warga negara namun juga menggaransikan badan publik. Data salah maka kebijakan tidak solutif,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait