Mendorong Partisipasi Publik dalam Perbaikan UU Cipta Kerja Setelah Uji Formil
Terbaru

Mendorong Partisipasi Publik dalam Perbaikan UU Cipta Kerja Setelah Uji Formil

Isu tentang kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan rancangan undang-undang terus mengemuka dan diafirmasi oleh MK lewat pertimbangannya.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit

Perwakilan dari Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan menyebutkan Putusan MK ini menjadikan bangsa Indonesia memiliki pedoman tentang tata tertib pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan mandat konstitusi. Salah satunya adalah mekanisme partisipasi publik. Mekanisme ini menurut Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, telah menempatkan partisipasi publik sebagai syarat konstitusionalitas pembentukan undang-undang.

Menyangkut hal ini, Agus Ruli Ardianyah dari Serikat Petani Indonesia (SPI) mengatakan bahwa indikator partisipasi bermakna harus memperbaiki dengan melibatkan partisipasi rakyat mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan sampai pengesahan yang harus menjadi pedoman bagi DPR dan Pemerintah dalam pembentukan undang-undang. Jangan seperti UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan gerakan petani.

“Selain itu, seharusnya Hakim MK juga tegas dalam putusannya, tidak menimbulkan dualisme. Karena Hakim MK menyatakan inkonstitusional bersyarat. Sehingga, menimbulkan ambiguitas terhadap keberlakuan UU ini,” demikian disampaikan Agus Ruli.

Bersayap

Terkait abiguitas putusan, Lodji Nurhadi dari Yayasan Bina Desa menyebutkan bahwa Putusan MK cenderung bersayap dan kental nuansa politik. Dirinya menilai bahwa pengertian konstutusional dan inkonstitusional harusnya punya batas yang jelas, tidak remang-remang. Karena hal tersebut akan berdampak pada masa depan law enforcement itu sendiri. Hal ini menurut Lodji bisa menjadi preseden.

Namun, meski Putusan MK ini tampak gamang dan tak bulat di antara hakim, Lodji mendorong banyak pihak untuk perlu mengapresiasinya. Menurutnya, sejarah bagi MK untuk mengabulkan sebuah gugatan formil. “Kita perlu tetap mengawasi dan memastikan partisipasi rakyat ada dalam setiap proses perumusan kebijakan, terutama dalam pembentukan hukum yang mendampak luas terhadap rakyat, khususnya yang menyangkut hajat hidup para petani dan nelayan kecil serta perempuan pedesaan,” kata Lodji.

Berdasarkan putusan MK ini maka pemerintah dilarang untuk mengeluarkan terlebih dahulu kebijakan strategis dan peraturan perundang-undangan turunan dari UU Cipta Kerja di lapangan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Menurut Direktur Sawit Watch, UU Cipta Kerja bermasalah secara konstitutional sehingga tidak bisa menjadi rujukan bagi aturan di bawahnya.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, memandang bahwa  Undang-Undang ini akan berpotensi mengancam eksistensi, keberlanjutan hidup petani, eksistensi kelompok-kelompok tani, dan kebudayaannya serta kedaulatan petani atas pangan, mengancam berkembangnya pertanian, melemahkan keterampilan petani, dan menghambat berkembangnya organisasi-organisasi petani local.

Sementara, Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menyampaikan apresiasinya terhadap putusan MK karena menilai bahwa UU Cipta Kerja dalam proses pembentukannya syarat dengan kepentingan pemodal dan cacat formil, sehingga memberi waktu untuk gerakan civil society mengonsolidasikan diri dalam memperkuat demokrasi.

Sedari awal pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah disinyalir mengandung cacat formil, karena tidak cermat dan bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Isu tentang kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan rancangan undang-undang terus mengemuka dan diafirmasi oleh MK lewat pertimbangannya.

Koalisi menilai pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khusus klaster pertanian akan berpotensi merugikan hak-hak petani pada umumnya dan menjauhkan pencapaian kedaulatan petani dan pangan di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait