Mendorong Perubahan Paradigma Penahanan Lewat Revisi KUHAP
Utama

Mendorong Perubahan Paradigma Penahanan Lewat Revisi KUHAP

Revisi terhadap KUHAP keniscayaan yang tak dapat ditunda-tunda, khususnya membentuk hakim komisaris dalam RKUHAP.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi penahanan. HGW
Ilustrasi penahanan. HGW

Hasil penelitian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tentang praktik penahanan oleh penegak hukum semestinya ditindaklanjuti dengan perubahan paradigma. Caranya, mendorong pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai inti pelaksanaan hukum acara pidana di DPR bersama pemerintah. Demikian kesimpulan sejumlah penanggap atas hasil laporan penelitian YLBHI, Kamis (11/2/2021) pekan lalu.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ninik Rahayu menilai praktik kekerasan masiih terjadi di proses awal dalam penahanan. Temuan YLBHI mengkonfirmasi data yang dimiliki Ommbudsman terkait institusi Kepolisian RI sebagai lembaga penegak hukum yang paling banyak dilaporkan masyarakat. Bahkan, tertinggi dilaporkan masyarakat ke Ombudsman RI. Antara lain adanya indikasi kekerasan di tempat penahanan, bahkan menyebabkan kematian.

Setidaknya terdapat 3 penyebab praktik penyiksaan. Pertama, faktor aturan soal KUHAP diintrepretasikan ke dalam aturan khusus oleh Kepolisian. Seperti Peraturan Kapolri (Perkap) yang tidak sinkron terhadap ketidakpatuhan terhadap aturan di atasnya. Seperti, apa fungsi dan kegunaan proses penyelidikan dan penyidikan; alasan harus diilakukan penahanan dalam proses pemeriksaan. “Padahal penahanan bukan hal utama,” kata dia.

Kedua, soal sumber daya manusia. Menurutnya, para penyidik harus memiliki kompetensi dalam proses penyelidikan dan penyidikan.  Sebab, bila memiliki kompetensi yang mumpuni, praktik kekerasan tak perlu lagi terjadi. Ketiga, masyarakat. Peran masyarakat untuk mencegah terjadinya praktik penyiksaan amat besar. Namun, praktiknya pemahaman aparat penegak hukum terhadap KUHAP berujung maraknya penahanan dan penyiksaan.

Praktik penahanan dalam sistem hukum positif terlampau panjang sebelum tersangka diajukan ke meja hijau. Selain itu, proses penahanan yang sedemikian lama memperburuk profesionalisme aparat penegak hukum. Banyaknya ragam tempat penahanan, memerlukan pengawasan yang ketat. Praktiknya, dasar penahanan menggunakan pasal berlapis agar dapat dilakukan penahanan.

Penahanan, seharusnya memiliki batas waktu maksimal. Perpanjangan penahanan sering tanpa adanya alasan maupun argumentasi yang jelas. Akibatnya, perpanjangan penahanan menjadi modus bagi aparat penegak hukum memaksimalkan batas penahanan di tingkat penyidikan. “Di Kepolisian senengnya nahan,” imbuhnya. (Baca Juga: Ada Kesenjangan Norma dan Praktik Penahanan dalam KUHAP)

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) Bidang Pemantauan/Penyelidikan, Mohammad Choirul Anam berpandangan melalui hasiil riset YLBHI menjadi pemicu untuk mengubah sistem hukum acara proses penahanan hingga pelimpahan perkara. Hasil penelitian YLBHI mesti ditindaklanjuti untuk memperbaiki hukum acara pidana.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait