Mendorong Revisi UU Pemilu Masuk Prolegnas Prioritas 2022
Terbaru

Mendorong Revisi UU Pemilu Masuk Prolegnas Prioritas 2022

Karena dianggap terdapat banyak kelemahan dan perlu diperbaiki dengan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kembali mendorong agar Revisi Undang-Undang (RUU) No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Langkah itu menyusul Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021 pada Maret 2021 lalu.

“Komite I DPD kembali mengusulkan revisi UU Pemilu masuk Prolegnas Prioritas tahun 2022,” ujar Ketua Komite I DPD, Fachrul Razi dalam rapat pleno di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (24/11/2021) kemarin.

Fachrul berjanji bakal menyampaikan usulan tersebut dalam rapat paripurna DPD pada Desember mendatang. Dia mengatakan DPR dan pemerintah telah menarik serta mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021. Setelah itu menggantinya dengan memasukan RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang diusulkan oleh Pemerintah. Alhasil, total yang masuk dalam Prolegnas tetap berjumlah 33 RUU.

Dia beralasan perlunya mendorong RUU Pemilu masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022 mendatang berdasarkan hasil tinjauan di banyak daerah serta masukan para pemangku kepentingan. Kesimpulannya, kata Fachrul, UU 7/2017 harus direvisi karena terdapat beberapa hal yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan politik masyarakat saat ini. Apalagi, penyelenggaraan Pemilu 2024, pesta demokrasi terbesar di Indonesia. (Baca Juga: Baleg: Draf RUU Pemilu Butuh Penyempurnaan)

Dalam Pemilu 2024 berbeda dengan penyelenggaraan pesta demokrasi di era-era sebelumnya. Selain pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) juga dilaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di tahun yang sama. Karena itu, UU 7/2017 dianggap banyak kelemahan dan harus direvisi sebelum pelaksanaan Pemilu 2024. Senator asal Aceh itu berpendapat berbagai permasalahan terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019 menjadi masukan dasar bagi penyempurnaan regulasi Pemilu di Indonesia.

Berbagai elemen yang ikut terlibat langsung dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, khususnya KPU dan Bawaslu harus mempersiapkan sejak awal termasuk anggaran serta sumber daya manusianya. Termasuk penggunaan teknologi informasi yang masif perlu segera diwujudkan. Dengan direvisinya UU 7/2017 diharapkan dapat mengakomodasi berbagai perkembangan digitalisasi dalam draf RUU Pemilu nantinya. Terlebih di tengah situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan mengurangi kegiatan tatap muka.

Selain itu, adanya revisi UU 7/2017 dimungkinkan mengurangi regulasi yang masih terdapat multitafsir dalam implementasinya. Mendorong perbaikan manajemen penyelenggaraan teknis dan pengawasan. Begitu pula terdapat penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu; mendorong penyelesaian sengketa yang lebih efektif; dan mendorong perbaikan mekanisme dan pencalonan termasuk pengaturan presidential threshold.

Anggota DPD Fahira Idris melanjutkan presidential threshold nol persen perlu diatur dalam revisi UU 7//2015 menjadi yang paling ideal bagi negara demokrasi seperti Indonesia. Menurutnya, langkah tersebut penting untuk memenuhi prinsip keadilan politik bagi rakyat Indonesia ke depannya.

Idealnya, setiap parpol yang memenuhi syarat mengikuti pemilu memiliki hak untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Dengan begitu, masyarakat memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin. Menurutnya, semakin banyak pilihan calon pemimpin, semakin baik untuk demokrasi di negeri ini.

Menurutnya, presidential threshold nol persendapat mencegah kerasnya polarisasi, karena masyarakat tidak terpaku pada dua pasangan calon saja. Selain itu, presidential threshold nol persen bakal membuat demokrasi Indonesia semakin berkualitas. Dia menilai negara yang mempunyai sistem demokrasi yang berkualitas akan menjadi daya dorong kemajuan bangsa menghadapi berbagai tantangan global yang semakin komplek

“Kita harus belajar dari kerasnya polarisasi politik dan terbelahnya masyarakat Indonesia akibat hanya memiliki dua calon presiden pada dua pilpres sebelumnya,” ujar senator asal DKI Jakarta itu.

Evaluasi sistem proporsional terbuka

Direktur Eksekutif Indonesia Publik, Karyono Wibowo berpandangan sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup merupakan perdebatan klasik karena ada plus minusnya. “Sistem proporsional terbuka yang dulu diandalkan bisa memperbaiki kualitas demokrasi, faktanya hari ini masih banyak catatan-catatan buruk,” ujarnya

Dia menilai dalam realitas praktik sistem proporsional terbuka atau open list representation masih terdapat banyak kelemahan. Seperti pemilik modal diberikan ruang begitu luas dalam sistem proporsional terbuka. Sementara para kader partai yang telah berjuang keras dan melalui proses rekrutmen, kaderisasi tingkat pertama, hingga jenjang berikutnya kalah bersaing dengan pemilik modal. Sebab, calon yang memiliki modal besar hanya sekedar mengandalkan popularitas semata.

Karyono sependapat dengan banyak kalangan yang mendorong adanya perubahan terhadap UU 7/2017, khususnya evaluasi sistem proporsional terbuka untuk mengakomodir berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat saat ini. “Memang benar anggapan sebagian pihak, bahwa sistem pemilu kita perlu dievaluasi,” kata dia.

Sebagiamana diketahui, Baleg dan pemerintah menyepakati mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021 pada 9 Maret 2021 lalu. Sementara di internal Komisi II sebagai pengusul RUU Pemilu, menyepakati hal serupa. Makanya pimpinan Komisi II pun menyurati Baleg agar menarik RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.

Tags:

Berita Terkait