Mengapa Berkampanye di Tempat Ibadah Dilarang? Ini Penjelasan Hukumnya
Berita

Mengapa Berkampanye di Tempat Ibadah Dilarang? Ini Penjelasan Hukumnya

Masalah agama adalah masalah yang sangat sensitif. Jika disalahgunakan dalam berkampanye, dikhawatirkan akan menyulut konflik yang besar.

Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Dalam keterangannya tokoh-tokoh agama berpesan kepada segenap warga bangsa untuk mendorong proses demokrasi Indonesia berlangsung aman dan lancar serta mengindahkan nilai-nilai moral dan etika beragama.
Dalam keterangannya tokoh-tokoh agama berpesan kepada segenap warga bangsa untuk mendorong proses demokrasi Indonesia berlangsung aman dan lancar serta mengindahkan nilai-nilai moral dan etika beragama.
Masa kampanye Pilkada di DKI Jakarta sudah dimulai. Semua tim sukses (timses) pasangan calon gubernur mulai mengeluarkan beragam strategi untuk mengeruk jumlah massa sebanyak-banyaknya. Semua pihak tentu berharap pagelaran kampanye Pilkada dapat berjalan damai tanpa dibumbui pelanggaran hukum.

Sering kita temui, bukan hanya timses yang sibuk jika kampanye Pilkada sudah bergulir. Massa pendukung calon gubernur terkadang tidak ingin ketinggalan memberi sumbangsih agar calon yang dijagokannya menang. Tanpa disadari, pendukung calon yang tidak terafiliasi dengan timses terkadang memanfatkan tempat ibadah sebagai tempat kampanye. Padahal, ada risiko hukum atas perbuatan itu.

Seperti dikutip dari klinik hukum hukumonline, meski sanksi menggunakan tempat ibadah sebagai sarana melakukan kampanye masih tergolong ringan, namun penggunaan tempat ibadah untuk mencari massa pendukung calon merupakan hal yang dilarang.

Pada dasarnya, Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Penyelenggaraan Pilkada menjadi tanggung jawab bersama KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Jika dilakukan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh KPU Provinsi. Sedangkan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota.

Kampanye Pilkada sendiri adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. (Baca Juga: Isi Keputusan KPU Soal Pedoman Teknis Pelaksanaan Kampanye Pilkada)

Kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab, dilaksanakan oleh partai politik dan/atau pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU sesuai daerah pemilihan. Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPU sesuai dengan daerah pemilihan dengan memperhatikan usul dari pasangan calon.

Kampanye dapat dilaksanakan melalui:a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka dan dialog; c. debat publik/debat terbuka antarpasangan calon; d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga; f. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam kampanye, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye pasangan calon dilarang melibatkan: a. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; b. aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; danc. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.

Selain itu, hal-hal yang dilarang pada saat kampanye adalah: a.mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota, calon wakil walikota, dan/atau partai politik;

c. melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; d.menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik; e. mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum; f.mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah; (Lihat Juga: Pesan Bersama Tokoh Agama)

g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye; h. menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah; i. menggunakan tempat ibadahdan tempat pendidikan; j. melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; k.melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Adapun sanksi jika melakukan kampanye di tempat ibadah adalah:a. peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau b. penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah Pemilihan lain

Tidak hanya kampanye di tempat ibadah saja yang dilarang, tetapi juga kegiatan seperti menempel stiker dan pemasangan alat peraga kampanye juga dilarang di tempat ibadah dan halamannya.

Terkait apa sanksi bagi orang yang melakukan kampanye di tempat ibadah, padahal bukan merupakan simpatisan dari pasangan calon, perlu ditegaskan kembali bahwa kampanye dilakukan oleh partai politik dan/atau pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU yang dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat. Tentunya, melakukan kampanye di tempat ibadah oleh siapa pun itu adalah perbuatan yang dilarang berdasarkan UU 10/2016 dan PKPU 12/2016.

Sebagai informasi tambahan, dalam artikel Tokoh Parpol dan Agama Tolak Penyalahgunaan Agama Dalam Kampanye disebutkan bahwa masalah agama adalah masalah yang sangat sensitif. Jika disalahgunakan dalam berkampanye, dikhawatirkan akan menyulut konflik yang besar.Karena itu, tokoh Parpol dan tokoh agama harus menyatukan langkah menyatakan sikap menolak penyalahgunaan agama dalam berkampanye.

Tags:

Berita Terkait