Mengulas Polemik Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Mengulas Polemik Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama

​​​​​​​MA menerapkan hukum Islam kontemporer, apabila orang tua beragama berbeda dengan anak, maka dianggap meninggalkan wasiat wajibah.

Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

Padahal, secara syariat dan ketentuan KHI perbedaan agama, salah satu penghalang mendapat harta warisan. KHI sendiri tidak mengatur pembagian harta warisan kepada ahli waris beda agama. Pasal 171 poin c KHI menyebutkan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Mengutip buku Shahih Muslim Jilid 3 (2010, hlm 139) yang disusun Muhammad Fuad Abdul Baqi, disebutkan dalam hukum Kewarisan Islam ada sebab orang menerima bagian dari harta warisan yaitu hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan. Selain sebab menerima warisan, ada pula penghalang kewarisan, salah satunya ahli waris beda agama. Ahli waris beda agama menjadi penghalang mendapatkan harta warisan sesuai Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid, Nabi SAW bersabda: "Orang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang muslim."

Baca:

Wasiat wajibah dalam putusan MA

Wasiat wajibah bisa diberikan kepada ahli waris beda agama tercermin dalam beberapa putusan MA, diantaranya putusan MA RI Nomor 368 K/AG/1995; Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, dan Nomor 16 K/AG/2010. Beberapa putusan MA tersebut memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris (anak kandung nonmuslim) yang berbeda agama. Dengan begitu, yurisprudensi tersebut agak berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.  

Misalnya, dalam Putusan MA No. 16K/AG/2010, seorang istri nonmuslim meskipun bukan ahli waris dari suaminya, tetapi dapat memperoleh warisan melalui wasiat wajibah. Amar putusannya mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan istri (tergugat asal) atas putusan waris melawan termohon kasasi/penggugat asal (ibu kandung pewaris, dkk). Putusan MA tersebut telah menjadi yurisprudensi bagi pengadilan di bawahnya.

Putusan MA itu membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor 59/Pdt.G/PTA. Mks. Tanggal 15 Juli 2009 M dan menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks. tanggal 2 Maret 2009 M. Dalam pertimbangannya, Majelis MA menyatakan pada dasarnya ahli waris nonmuslim tidak mendapatkan warisan karena ahli waris nonmuslim termasuk terkena halangan untuk mendapatkan warisan.

Majelis mengutip pandangan Yusuf Al-Qardhawi, orang-orang non-Islam yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi. Demikian halnya Pemohon Kasasi bersama pewaris (suami-isteri) semasa hidup bergaul dengan rukun damai meskipun berbeda keyakinan, sehingga ahli waris nonmuslim dapat menerima warisan melalui wasiat wajibah. Menurut ulama kenamaan asal Mesir ini, hal ini dapat dipandang lebih memberikan rasa keadilan, manfaat kepadanya, dan bisa dilihat sebagai upaya menghindari terjadinya perpecahan keutuhan keluarga, menghindari kemudharatan, dan menjaga kemaslahatan.

Mengutip Pasal 209 KHI tentang wasiat wajibah yang hanya diperuntukkan terhadap anak angkat sebesar sepertiga bagian dari harta peninggalan. Namun dalam perkara ini Majelis MA memutuskan ahli waris nonmuslim mendapatkan waris melalui wasiat wajibah. Dengan demikian putusan MA ini dapat membuat hukum baru dan dapat menjadi yurisprudensi tetap yang menjadi rujukan para hakim peradilan agama dalam menyelesaikan kasus yang sama.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait