Meninjau Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual
Utama

Meninjau Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual

Sebuah kebijakan tidak terlepas dari pro dan kontra. Menjadi bukti bahwa masyarakat memiliki pandangan yang kritis terhadap suatu kebijakan baru.

CR-27
Bacaan 4 Menit
Acara Instagram Headline Talks Hukumonline bertajuk Mengupas Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual, Senin (22/11).
Acara Instagram Headline Talks Hukumonline bertajuk Mengupas Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual, Senin (22/11).

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi mengesahkan Permendikbud No.30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Salah satu alasan diterbitkannya Permendikbud tersebut adalah adanya kekosongan hukum terhadap perlindungan korban kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Hal itu perlu dilakukan untuk mencari payung hukum agar bisa menindak kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

Namun, hadirnya Permendikbud ini justru menjadi polemik dan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi yang pro, kehadiran Permendikbud ini dinilai sebagai bentuk kehadiran negara dalam melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

Sedangkan bagi yang kontra, kehadiran Permendikbud ini dinilai tidak memiliki tautan hukum. Permendikbud dibuat tidak berlandaskan norma agama dan norma susila yang seharusnya menjadi prinsip penanganan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Bahkan di salah satu pasal ada multitafsir yang seakan-akan melegalkan perbuatan zina.

Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi, berpendapat sebuah kebijakan tidak terlepas dari pro dan kontra. Di satu sisi hal ini bisa diartikan baik bahwa sebuah kebijakan nantinya akan mengikat kepada masyarakat, sehingga bisa menjadi bukti bahwa masyarakat memiliki pandangan yang kritis terhadap suatu kebijakan baru.

“Adanya perdebatan terkait Permendikbud ini sangat menarik untuk digali lebih dalam,” kata Fajri dalam acara Instagram Headline Talks Hukumonline bertajuk ‘Mengupas Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual’, Senin (22/11). (Baca: Pemerintah Diminta Revisi Terbatas Permendikbudrisrek 30/2021)

Menurut Fajri, terdapat ketentuan formil dan materil yang menaungi Permendikbud 30.2021. Aspek formil Permendikbud dapat dilihat sebagai peraturan perundang-undangan, yang mana undang-undang yang dirujuk adalah UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Proses terbentuknya Permendikbud ini juga tidak hanya disahkan oleh satu kementerian, tetapi bekerjasama dengan kementerian lainnya seperti Kemenkumham.

Secara materiil, Permendikbud ini mengatur dua hal besar, yaitu pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Fajri menjelaskan bahwa Permendikbud ini bersifat prosedural.

“Sifat Permendikbud ini adalah menjalankan suatu tugas sesuai arahan atau SOP, bukan mengatur aspek pidana. Ruang lingkup Permendikbud mengenai kekerasan seksual ini merupakan panduan untuk satgas yang dibentuk oleh Permendikbud untuk menjalankan tugasnya” katanya.

Langkah yang dilakukan berbeda apabila kasus kekerasan seksual dalam perguruan tinggi ini berlanjut ke ranah hukum dan diproses oleh kepolisian yang ketentuannya menggunakan pasal atau delik yang ada di KUHP. Prinsip-prinsip dalam Permendikbud ini sejatinya juga harus dikawal, yang mana di dalamnya terdapat kepentingan untuk korban, keadilan dan kesetaraan gender, serta prinsip aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Salah satu isu yang paling ramai diperbincangkan terdapat dalam ‘consent’ atau persetujuan dalam kekerasan seksual yang ditafsirkan melegalkan zina. Fajri menjelaskan interpretasi terhadap kata ‘consent’ ini terlalu jauh dan melebar.

“Permendikbud ini mengatur perihal aspek kekerasan secara seksual bukan tindakan seksual secara umum,” kata Fajri. Dia juga melanjutkan hal ini perlu diatur oleh negara karena tindakan kekerasan itu selalu memposisikan korban dan pelaku di posisi tidak adil.

Dia menambahkan banyaknya korban yang takut melapor akibat kurangnya dukungan dari negara. Menurutnya, Permendikbud ini merupakan jalan keluar yang bisa dilakukan untuk mendorong negara agar posisi korban dan pelaku kekerasan seksual tidak timpang dan mendapat perlakuan yang adil. 

“Setelah adanya keadilan ini, maka akan mudah untuk melanjutkan proses penegakan hukum,” ujarnya.

Dijelaskan Fajri, konsep consent atau persetujuan ini berarti setiap orang memiliki harga diri yang memiliki keputusan yang murni atas keinginannya sendiri. Adanya consent itu bermakna bahwa seseorang memutuskan keputusan atas dirinya sendiri tanpa adanya kontrol atau paksaan dari orang lain terlebih tentang tubuhnya sendiri.

Proses penegakan hukum saat ini menurut PSHK belum adil terutama untuk korban. Maka dari itu perlu dukungan dari korban untuk melapor terkait kekerasan seksual di perguruan tinggi. Jika korban masih minim melapor maka akan sulit untuk mewujudkan kesetaraan keadilan antara pelaku dan korban.

“Saat ini, hampir 80% kasus kekerasan seksual tidak lanjut karena bukti yang kurang. Hal ini yang banyak dialami oleh masyarakat disabilitas yang tidak difasilitasi dengan benar. Sehingga kesetaraan ini lagi-lagi menjadi penting,” lanjut Fajri.

Pembentukan norma hukum tidak serta merta membatalkan norma susila dan norma agama yang telah ada. Meski dalam Permendikbud tidak dituliskan secara langsung, bukan berarti itu menghapuskan norma agama dan norma susila yang telah ada di tengah masyarakat.

Terkait Pasal 5 ayat (3) yang secara tidak langsung melegalisasikan seks bebas, Fajri menjelaskan bahwa konteks Permendikbud adalah kekerasan seksual bukan memaknai aktivitas seksual secara umum.

“Pasal 5 dibentuk untuk membantu permendikbud mendefinisikan apa itu kekerasan seksual, oleh karena itu perbuatannya harus dirincikan. Adanya pemicu legalisasi seks bebas. Untuk masuk konteks kekerasan, harus ada pihak yang tidak berkenan yang menandakan situasi seseorang tidak dihargai terhadap memutuskan apa yang diinginkan dirinya, hal inilah yang harus dilindungi negara agar posisinya yang tidak setara menjadi setara,” katanya.

Fajri juga menambahkan jika terjadi persetujuan, maka itu bukan lagi yang dibicarakan oleh Permendikbud karena aturan ini tidak menghilangkan norma agama dan norma susila. Permendikbud 30/2021 hadir untuk menaikkan posisi korban, sehingga perguruan tinggi yang mempunyai tugas sebagai pencegah mempunyai kekuasaan hukum yang kuat. 

‘Hadirnya permendikbud ini turut membuat lembaga pendidikan perguruan tinggi menjadi bebas bebas dari kekerasan seksual,” tandasnya. 

Tags:

Berita Terkait