Pakar: Paradigma UU Serikat Pekerja Harus Diubah
Terbaru

Pakar: Paradigma UU Serikat Pekerja Harus Diubah

Terdapat tiga urgensi untuk merevisi UU Serikat Pekerja yakni historis, substantif, dan kontemporer.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Demo buruh dari sejumlah organisasi serikat pekerja. Foto Ilustrasi: RES
Demo buruh dari sejumlah organisasi serikat pekerja. Foto Ilustrasi: RES

Sudah dua dasawarsa UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja berlaku bagi para buruh/pekerja untuk mendirikan wadah serikat pekerja di masing-masing tempat bekerja. Namun, praktiknya proses pendirian serikat perkerja tidak mudah dan sering mengalami kesulitan dalam upaya penyuarakan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan pekerja. Karena itu, diperlukan perubahan terhadap UU 21/2000.

Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dedi Iskandar Batubara menilai UU 21/2000 dalam praktiknya menimbulkan masalah. Untuk itu, perlu mengevaluasi dan memperbaiki berbagai norma/pasal dalam UU 21/2000 secara komprehensif. “Perlu direvisi untuk menghasilkan regulasi yang lebih baik dan mengakomodir kepentingan buruh, pengusaha,” ujar Dedi Iskandar Batubara saat rapat dengar pendapat umum dengan beberapa akademisi dalam upaya menginventarisasi materi penyusunan revisi UU 21/2000 di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (18/1/2021) kemarin.

Guru Besar Hukum Perburuhan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Aloysius Uwiyono mengatakan UU 21/2000 memang cara pandangannya lebih pada konflik, bukan kemitraan. Karenanya, UU Serikat Pekerja berpotensi besar mengadu domba antara buruh dan pengusaha. Bahkan memperlemah posisi serikat pekerja di depan pengusaha.

Ironisnya, malah membuat posisi buruh menjadi terlihat lemah dan cenderung dipandang sebagai trouble maker yang berseberangan serta memusuhi pengusaha. Karenanya rumusan norma yang dibangun dalam draf revisi UU 21/2000 harus diubah sedemikian rupa. 

Setidaknya, ada relasi yang harus dikembangkan antara kelas pekerja dengan pengusaha harus berdasarkan prinsip demokratis, kemitraan, dan keterbukaan. Tujuannya, agar dapat tercipta hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha, buruh, dan organisasi buruh. “Paradigma yang terbangun dalam UU Nomor 21 tahun 2000 harus diubah,” pintanya.

Sementara Peneliti Klaster Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ketenagakerjaan Pusat Riset Kependudukan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi mengatakan terdapat tiga alasan untuk menilai urgensi revisi UU 21/2000. Pertama, alasan historis yakni adanya UU 21/2000 lahir di masa pergantian rezim yang disusun dengan sangat cepat. Bahkan sangat kental dengan campur tangan lembaga internasional. Seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), International Labour Organization (ILO).

Kedua, alasan substantif yakni norma-norma pasal dalam UU 21/2000 tergolong amat lentur. Seperti aturan tentang pendirian serikat pekerja yang terlalu mudah. Akibatnya, banyak lahir organisasi serikat buruh. Ketiga, alasan kontemporer yakni UU 21/2000 sejatinya memerlukan harmonisasi dengan beragam peraturan perundang-undangan yang lebih baru.

Bahkan, perlu pula dimasukan norma yang terkait dengan perlindungan buruh, pekerja kontrak, sistem outsourcing, keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BPJS Kesehatan. Hal lainnya yang perlu dimasukan atau dinormakan dalam revisi UU 21/2000.

Paparan kedua ahli tersebut menuai rasa penasaran sejumlah anggota dewan. Sejumlah pertanyaan disampaikan ke kedua ahli tersebut. Seperti anggota Komite III DPD Misharti. Menurutnya, rumusan dalam Pasal 5 sampai dengan 10 UU 21/2000 dianggap terlampau mudah mendirikan serikat buruh. Kendati serikat buruh amat penting sebagai wadah dan media advokasi bagi para buruh. Namun perlu aturan yang ketat dalam pendirian serikat buruh.

“Tapi persoalan yang lebih penting dan lebih esensial adalah bagaimana cara memberdayakan dan meningkatkan kualias dan kapasitas buruh, sehingga menjadi lebih produktif dan punya daya saing tinggi,” ujar senator dari Provinsi Riau.

Hal serupa disampaikan anggota Komite III DPD lainnya, Eni Kharani. Menurutnya, inisiasi revisi terhadap UU 21/2000 perlu dilakukan secara mendalam dan mengedepankan asas kehati-hatian. Pasalnya, UU Serikat Buruh amat sensitif terkait dengan perjuangan para buruh. Hal ini boleh jadi alasan yang menyebabkan UU 21/2000 nyaris tidak tersentuh selama dua dasawarsa.

“Saya sepakat undang-undang ini direvisi. Namun harus dilakukan dengan hati-hati dan betul-betul memperhatikan keseimbangan antara kedua pihak yaitu pekerja dan pengusaha. Hal itu untuk menepis kecurigaan adanya agenda atau titipan dari pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan untuk merevisi undang-undang ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait