Pakar HTN: Nyaris Mustahil Putusan MK Diskualifikasi Gibran
Melek Pemilu 2024

Pakar HTN: Nyaris Mustahil Putusan MK Diskualifikasi Gibran

Antara lain soal hukum acara yang mempersulit pembuktian, paradigma hakim konstitusi, dan independensi hakim di hadapan kepentingan politik.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kedua, paradigma hakim konstitusi. Zainal menyebut ada 2 paradigma yakni progresif dan konservatif. Untuk kewenangan menangani PHPU, MK sudah progresif dengan menegaskan dirinya bukan Mahkamah Kalkulator, tapi juga menilai substansi. Tapi lain hal untuk progresifitas dalam menilai materi atau substansi.

Berkaca dari PHPU Pilpres 2004-2009-2014-2019, MK tidak pernah progresif membedah substansi permohonan. Misalnya, PHPU Pilpres 2019 MK bilang ada kecurangan tapi tidak signifikan mengubah perolehan suara, ada kecurangan tapi tidak terverifikasi, semua orang bisa diuntungkan dengan kecurangan itu dan sebagainya.

Selain itu terkait juga pendekatan judicial activism dan judicial restraint. Ketika berhadapan dengan perkara yang berbau politik, Zainal mencatat sikap MK kadang progresif atau konservatif. Dalam putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 MK cukup ‘progresif’ karena berani mengatur hal yang selama ini open legal policy. Pertanyaannya, apakah judicial activism dalam perkara itu bermanfaat?, MK melakukan kekeliruan besar dalam putusan ini.

“MK kadang melakukan judicial activism atau judicial restraint dalam konteks yang tidak tepat. Maka dugaan saya MK tidak akan berani untuk progresif (dalam memutus PHPU Pilpres 2024,-red),” bebernya.

Ketiga, kualitas hakim di hadapan politik. Zainal membagi hakim MK dalam 3 poros ketika berhadapan dengan perkara politik yakni hakim yang bisa mengedepankan ‘judicial heroes’, ‘terafiliasi kepentingan politik’, dan hakim yang sikapnya ‘mengambang’. Pada praktiknya dalam pengambilan putusan, hakim yang posisinya ‘mengambang’ ini jadi rebutan poros hakim lainnya.

Putusan MK yang berkaitan dengan politik sangat dipengaruhi oleh kemampuan hakim dari poros ‘judicial heroes’ atau “terafiliasi kepentingan politik” untuk membujuk hakim konstitusi ‘mengambang’. Contohnya dalam perkara pengujian UU terkait hak angket untuk KPK. Zainal mengatakan putusannya tergolong moderat atau tengah karena DPR bisa menggunakan hak angket terhadap KPK tapi tidak untuk penegakan hukumnya.

“Jadi ini titik tengah antara melarang keseluruhan hak angket untuk KPK atau tidak,” imbuhnya.

Mengingat permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sangat tinggi yakni meminta diskualifikasi untuk salah satu pasangan calon dan pemilihan suara ulang (PSU), Zainal menyebut kemungkinannya poros hakim ‘judicial heroes’ sikapnya bergeser ke tengah.

Tags:

Berita Terkait