Pantau Gambut: Pernyataan Jokowi di Jerman Soal Karhutla Tak Sesuai Fakta
Terbaru

Pantau Gambut: Pernyataan Jokowi di Jerman Soal Karhutla Tak Sesuai Fakta

Pemerintah mengklaim kebakaran hutan dan lahan (karhutla) turun sampai 88 persen. Faktanya di lapangan titik panas di lahan gambut masih terus ada, seperti di Provinsi Riau.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Peristiwa Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah setiap tahun di berbagai wilayah. Dalam lawatannya ke Hannover Jerman, beberapa waktu lalu menghadiri kegiatan Hannover Messe, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia berkomitmen kuat menjaga keberlangsungan lingkungan. Seperti laju deforestasi turun signifikan dan terendah selama 20 tahun terakhir.

“Kebakaran hutan turun drastis 80 persen, rehabilitasi hutan 600 ribu hektare hutan mangrove yang akan selesai direhabilitasi di tahun 2024, ini terluas di dunia,” kata Jokowi sebagaimana dilansir laman setkab.go.id, Senin (17/04/2023) lalu.

Pernyataan itu disorot kalangan organisasi masyarakat sipil yang membidangi isu lingkungan hidup. Juru Kampanye Pantau Gambut Wahyu Perdana, mencatat pidato Presiden Jokowi di ajang Hannovers Mese 2023 terkait isu lingkungan hidup tidak menyebut kapan periode dan metode pengukuran yang digunakan untuk mengklaim turunnya laju deforestasi dan karhutla.

Faktanya, karhutla terus terjadi. Misalnya 2 hari setelah pidato itu sedikitnya 5 titik panas ditemukan di area gambut sangat dalam di beberapa wilayah konsesi seperti Medang Kampai, dan kota Dumai provinsi Riau. “Lokasi tersebut menjadi sebagian kecil dari area-area berisiko tinggi yang masuk ke dalam analisis Pantau Gambut melalui kajian Kerentanan Karhutla 2023,” ujar Wahyu di konfirmasi, Rabu (26/04/2023).

Baca juga:

Hasil analisa Pantau Gambut tersebut menggunakan dataset tahun 2015 dan 2019. Dari data itu ditemukan sebanyak 16,4 juta hektare area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) rentan terbakar. Di mana area seluas 3,8 juta hektare masuk ke dalam kerentanan tinggi (high risk) dan 12,6 juta hektar tergolong ke dalam kerentanan sedang (medium risk).

Dari pernyataan Jokowi itu, Wahyu menilai Presiden hanya memilih data yang mendukung pidatonya karena temuan karhutla yang muncul tidak dibandingkan secara tepat. Misalnya, tidak memasukan variabel siklus iklim yang terjadi di Indonesia, sehingga jumlah karhutla tidak bisa diklaim telah mengalami penurunan. Lebih objektif jika Presiden Jokowi melihat secara spesifik pada tahun 2015 dan 2019 dimana Indonesia mengalami karhutla terbesar.

Tags:

Berita Terkait