PBHI Minta Presiden dan Kapolri Evaluasi Sistem Penanganan Unjuk Rasa
Utama

PBHI Minta Presiden dan Kapolri Evaluasi Sistem Penanganan Unjuk Rasa

Kompolnas dan Divisi Propam Polri juga diminta mengevaluasi, mengusut tuntas dan menindak tegas para pelaku kekerasan dalam penanganan aksi unjuk rasa.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Tindakan kekerasan anggota Kepolisian terjadi saat aksi unjuk rasa digelar Mahasiswa HIMATA Banten Raya dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-389 Kabupaten Tangerang, Rabu (13/10/2021) kemarin, dan menjadi viral. Viral sebuah video yang menunjukkan Anggota Kepolisian mempiting dan membanting seorang peserta aksi hingga tersungkur dan mengalami kejang-kejang. Belakangan, oknum anggota Polri yang bersangkutan menyampaikan permohonan maaf atas sikapnya itu.     

Merespon peristiwa ini, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyoroti peristiwa sebagai bentuk dugaan pelanggaran HAM. Bagi PBHI, unjuk rasa atau demonstrasi adalah hak asasi manusia yang dijamin Konstitusi (UUD 1945); UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM; UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan UU lain.

Maka dari itu, PBHI memandang tugas kepolisian justru menghormati dan menjaga peserta unjuk rasa sebagaimana diatur dalam Perkapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

“Penggunaan kekerasan merupakan tindak pidana dan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM),” ujar Sekjen PBHI Julius Ibrani kepada Hukumonline, Kamis (14/10/2021).

Dia melihat penggunaan kekerasan oleh kepolisian dalam penanganan unjuk rasa bukan pertama kali terjadi. Misalnya, saat aksi tolak omnibus law, UU Cipta Kerja. Karena itu, menurutnya, persoalan ini harus dipandang sebagai masalah krusial yang bersifat kelembagaan.

“Sehingga tidak relevan dengan jalur personal seperti permintaan maaf. Harus ada evaluasi menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari sistem pendidikan dan pelatihan anggota Polri sampai pengawasan dan penindakan tegas,” kata Julius.

Sebagai tambahan, kata Julius, pengulangan terjadinya kekerasan juga disebabkan karena ketiadaan tindakan tegas secara kelembagaan. Pernyataan maaf di hadapan publik memang perlu diapresiasi, tapi tidak akan menghindari repetisi (pengulangan). Baginya, perlu sistem penjatuhan sanksi yang bisa menimbulkan efek jera agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Atas dasar itu, PBHI mendesak Presiden agar mengevaluasi secara menyeluruh sistem penanganan unjuk rasa oleh Kepolisian untuk memastikan tidak ada kekerasan di kemudian hari. Kapolri agar mengevaluasi sistem penanganan unjuk rasa secara nasional dan menindak tegas jajaran Kepolisian di Banten, mulai dari Polda, Polres, dan keseluruhan tim yang terlibat dalam penanganan aksi di Kabupaten Tangerang;

Selain itu, Kompolnas dan Divisi Propam Polri untuk mengevaluasi, mengusut tuntas dan menindak tegas para pelaku kekerasan dalam penanganan aksi unjuk rasa. “Komnas HAM untuk memeriksa pelanggaran HAM yang terjadi akibat kekerasan dalam penanganan unjuk rasa,” pintanya.

Menjalani pemeriksaan

Sebelumnya, Kapolresta Tangerang, Kombes Pol Wahyu Sri Bintoro juga secara terbuka menyampaikan permohonan maaf kepada publik atas tindakan kekerasan oknum anggota kepolisian kepada mahasiswa saat aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang, Banten, Rabu (13/10/2021) kemarin.

"Polda Banten dan saya atas nama Kapolresta Tangerang meminta maaf kepada korban MFA (20) yang mengalami kekerasan oleh oknum pengamanan aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang," kata Wahyu, Rabu (13/10/2021) seperti dikutip Antara.

Menurutnya, saat ini kondisi dari korban yang berinisial MFA sudah dilakukan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit (RS) Harapan Mulia. Kemudian, hasil kesimpulan pemeriksaan bawa kondisi fisik baik dan sudah kondisi sadar secara penuh. "Kita juga sudah memberikan obat atau vitamin untuk MFA, hanya saja untuk rontgen secara lengkap hasilnya akan diambil besok," kata dia.

Sementara itu, lanjut Kapolres, terhadap oknum anggota pengamanan masa demonstrasi yang berinisial NP dengan pangkat Brigadir tersebut, saat ini sedang menjalani pemeriksaan Divisi Propam Mabes Polri yang didampingi Propam dari Polda Banten. Selain itu, dari oknum pengamanan tersebut secara pribadi sudah menyampaikan maaf kepada korban beserta keluarganya atas perbuatan yang telah dilakukannya.

"Oknum pengamanan ini sudah minta maaf kepada korban, dan beliau juga menyampaikan tidak ada tujuan untuk mencelakai korban," ujarnya.

Ia menyebutkan, pihaknya juga akan menindak secara tegas anggotanya jika terbukti menyalahi aturan SOP dalam pengamanan demonstrasi tersebut. "Pak Kapolda Banten secara tegas akan menindak personil yang melakukan aksi pengamanan di luar standar SOP, itu dijanjikan kepada korban dan keluarganya," tuturnya.

Seperti diketahui, beredar sebuah video di media sosial seorang mahasiswa pingsan setelah mendapatkan bantingan dari aparat kepolisian yang melakukan pengamanan aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang di Puspemkab Tangerang. Aksi demo tersebut bertepatan dengan Hari Jadi ke-389 Kabupaten Tangerang. Dalam aksinya itu, para mahasiswa menyampaikan aspirasi dan tuntutan atas persoalan yang ada di Tangerang.

Kemudian, massa berusaha untuk terus-menerus mendekati Kantor Bupati Tangerang. Namun, mereka terhalang oleh puluhan aparat keamanan untuk memasuki gedung tersebut, sehingga berujung saling dorong dengan aparat kepolisian hingga terjadi bentrokan antara mahasiswa dan polisi. (ANT)

Tags:

Berita Terkait