Pelaku KDRT Potong Kaki Istri dan Problem KDRT di Indonesia
Utama

Pelaku KDRT Potong Kaki Istri dan Problem KDRT di Indonesia

Aksi kekerasan ekstrim ini bahkan dilakukan di hadapan anak yang masih berusia 9 tahun. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memvonis hukuman 8 tahun penjara terhadap terdakwa. Kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es, sehingga seharusnya perempuan harus berani speak up, berdaya secara ekonomi, dan kesadaran masyarakat.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit

“Melihat kasus semacam itu, kami mengkhawatirkan kekerasan yang dialami bisa lebih hebat lagi dan berujung pada hilangnya nyawa. Dari berbagai kasus, kita dapat mengambil pembelajaran pentingnya perempuan untuk berdaya secara ekonomi, lalu harus berani mengubah budaya untuk lebih berani speak up kalau seorang perempuan merasa menjadi korban kekerasan.”

Melansir BaliPost, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memvonis suami pelaku KDRT di Bali yakni Kadek Adi Waisaka Putra dipenjara 8 tahun. Hukuman tersebut satu tahun lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa 9 tahun, alasannya Terdakwa telah mengakui bersalah dan belum pernah dihukum. 

Kadek terbukti bersalah dalam aksi memotong kaki istrinya yang sedang tertidur dan dilakukan pada 5 September 2017 di kamar kosnya di Canggu. Setelah korban bersimbah darah dan sudah tidak berdaya dengan kondisi kakinya terputus akibat dari perbuatan kejamnya dengan menggunakan sebilah parang, Kadek Adi mengajaknya ke RS.

Atas perbuatannya itu, pria asal Alas Angker, Desa Tenaon, Buleleng itu dinyatakan sah dan meyakinkan terbukti bersalah. Ia dikenakan Pasal 5 huruf a UU PKDRT yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik”.

Kemudian Pasal 44 ayat (2) UU PKDRT yang berbunyi, “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)”.

“Kasus-kasus lama seperti kasus KDRT di Bali ini sebetulnya kembali lagi pada kekerasan terhadap perempuan yang menjadi fenomena gunung es. Antara kejadian yang senyatanya dengan yang dilaporkan jauh berbeda. Mengapa? Karena banyak perempuan yang jadi korban kekerasan itu tidak berani speak up, memandang itu sebagai aib, dan sebagainya. Perempuan juga harus berdaya secara ekonomi, dan terakhir (masyarakat sekitar) harus punya kesadaran,” tutup Hidayatullah.

Tags:

Berita Terkait