Pelayanan Hukum dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kolom

Pelayanan Hukum dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Layanan hukum merupakan bentuk kewajiban untuk dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

Bacaan 4 Menit
Thomas Istiarto dan Khalid Mustafa. Foto: Istimewa
Thomas Istiarto dan Khalid Mustafa. Foto: Istimewa

Pengadaan pemerintah adalah bagian integral dari pengelolaan anggaran publik di Indonesia. Ini melibatkan berbagai proses, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kontrak untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dan masyarakat.

Namun, seiring dengan kompleksitasnya, proses pengadaan pemerintah sering menghadapi tantangan yang dapat memengaruhi efisiensi dan transparansi pelaksanaannya. Kompleksitas proses pengadaan pemerintah juga merupakan tantangan yang signifikan. Persyaratan administratif yang rumit dan prosedur panjang dapat menghambat efisiensi dalam pengelolaan anggaran. Selain itu, kegiatan pengadaan barang/jasa tercatat menjadi penyumbang perkara tindak pidana korupsi terbesar di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu mencapai 277 kasus sejak tahun 2004 hingga 2022.

Perlu diketahui, Pemerintah—melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)—sudah berupaya mengembangkan Layanan Pengadaan Elektronik (LPSE) sebagai penerapan atas prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.

Baca juga:

Terlepas dari segala kompleksitasnya, tumbuhnya pembangunan tentu memerlukan kontribusi pemerintah dalam menyediakan berbagai jenis barang, layanan, serta pembangunan infrastruktur melalui proses pengadaan. Sayang sekali pelaku pengadaan seringkali terlalu cepat langsung diminta bertanggung jawab secara pidana ketika terjadi permasalahan dalam proses. Tidak sedikit yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Padahal, pengadaan barang/jasa beroperasi dalam tiga ranah hukum yang mengaturnya yakni Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana.

Lebih buruk lagi, ancaman jerat pidana yang dirasakan pelaku pengadaan nonpenyedia seringkali tidak mendapatkan layanan perlindungan hukum yang adil dari Pemerintah. Sebagai contoh, pernah terjadi polemik antara Prof. Haryono Umar sebagai Wakil Ketua KPK tahun 2007-2011 dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.77/PMK.01/2008 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Departemen Keuangan. Ia menilai PMK No.77/PMK.01/2008 melanggar Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintahan, sebagaimana diubah dengan PP No. 71 Tahun 2010 dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada dasarnya Prof. Haryono Umar menilai tersangka kasus tindak pidana korupsi bukan pihak yang dapat diberikan pembelaan melalui layanan hukum karena bukan demi kepentingan umum.

Pernyataan Prof. Haryono Umar seharusnya ditelaah lebih lanjut dengan memahami hak dasar warga negara yang berhadapan dengan hukum melalui asas praduga tak bersalah. Penjelasan umum butir ketiga huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jelas menyatakan bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sebelum diputus melalui putusan pengadilan. Tentu saja asas praduga tak bersalah juga harus dilihat melalui perspektif bahwa setiap orang berhak atas peradilan yang adil (fair trial rights). Pasal 14 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966 menyebutkan pula sejumlah hak yang melekat pada setiap warga negara yang menjadi tersangka. Isinya menekankan atas kebebasan dari kesewenang-wenangan dan kebebasan individu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait