Namun siapa sangka, keberadaan jembatan penyeberangan memiliki persoalan tersendiri bagi penggunanya. Di satu sisi, jembatan wajib ‘merangkul’ seluruh orang termasuk orang tua dan difabel. Tapi di sisi lain, ada pula jembatan penyeberangan yang bertangga sehingga difabel yang menggunakan kursi roda sulit untuk melaluinya.
Belum lagi, persoalan masyarakat yang memang enggan menyeberang melalui jembatan penyeberangan. Alasannya beragam. Ada yang malas lantaran harus naik tangga yang tinggi, ada pula yang tak nyaman menggunakan jembatan penyeberangan. Padahal, keberadaan jembatan penyeberangan menjadi sarana keselamatan bagi masyarakat saat menyeberang jalan.
Persoalan-persoalan ini kerap ditemui di jalanan Ibukota. Tengok saja yang terjadi di tiga jembatan penyeberangan di Cililitan, Jalan Otto Iskandar Dinata Jakarta Timur dan Jalan Salemba Raya Jakarta Pusat. Meski sudah ada jembatan penyeberangan orang, di tiga lokasi tersebut masyarakat masih enggan menggunakannya.
“Soalnya terlalu tinggi, malas dan capek kalau harus naik-naik. Mending saya menyeberang di jalanan saja pelan-pelan,” ujar salah satu pejalan kaki di jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, Riska, yang ditemui Hukumonline, Rabu (25/1).
Disinggung mengenai keselamatannya, Riska mengatakan jika berhati-hati, tidak akan terjadi kecelakaan. Apalagi menggunakan jalan lebih cepat dibanding menyeberang di jembatan penyeberangan.
Selain masalah disiplin di jalan raya, keberadaan jembatan penyeberangan juga berfungsi sebagai sarana untuk keselamatan para pejalan kaki. Namun, aspek keselamatan dari jembatan penyeberangan itu sendiri juga mesti tetap terjaga. Jangan sampai, rangka jembata rusak hingga beban yang ada semakin menambah kehororan setiap penggunanya.
Hal ini terjadi pada 24 September 2016. Kisah tragis menimpa dua pejalan kaki di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat cuaca tengah hujan deras, kedua pejalan kaki yang tengah meneduh tertimpa jembatan penyeberangan yang roboh. Setelah ditelusuri oleh Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, robohnya jembatan lantaran pemasangan papan reklame yang tak sesuai aturan ditambah lagi hujan deras dan angin kencang sore itu.
Belum lagi, sanksi pidana yang ‘menghantui’ pejalan kaki yang tak menyeberang di jembatan penyeberangan orang atau zebra cross. Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (PERDA Ketertiban Umum).
Pasal 2 ayat (2) PERDA Ketertiban Umum menyebukan bahwa “setiap orang yang akan menyeberang jalan wajib menggunakan sarana jembatan penyeberangan atau rambu penyeberangan/zebra cross yang telah disediakan”.
Sedangkan di Pasal 61 ayat (1) PERDA yang sama menyebutkan bahwa setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan pasal tersebut dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp100 ribu dan paling banyak Rp20 juta.
Peliknya persoalan jembatan penyeberangan antara keselamatan, kenyamanan hingga sanksi yang ada menjadi persoalan tersendiri yang harus dibenahi pemerintah. Persoalan ini seharusnya tak berlarut-larut sehingga masyarakat terkena imbasnya.