Penerbitan Obligasi Bukan Subsidi Kepada Perbankan
Utama

Penerbitan Obligasi Bukan Subsidi Kepada Perbankan

Koalisi Anti Utang menilai pemerintah telah salah dalam membuat kebijakan.

Fitri novia heriani
Bacaan 2 Menit
Foto: Sgp
Foto: Sgp

Pemerintah berencana melakukan penjualan aset kepemilikan perbankan seperti kredit dan jaminan untuk melunasi obligasi yang diterbitkan guna menyehatkan perbankan. Cara ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah utang negara. Hal ini dikatakan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Rahmat Waluyanto, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (29/6).

“Kita tetap menghargai semua upaya untuk menjadikan utang negara lebih baik,” kata Rahmat.

Rahmat menjelaskan, selama ini penerbitan obligasi guna menyehatkan perbankan bukanlah suatu hal yang diberikan secara cuma-cuma atau disubsidi oleh pemerintah. Semua obligasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah dilakukan secara fair hingga permodalan perbankan menjadi sehat.

Pelunasan obligasi nantinya dilakukan melalui penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara langsung kepada investor yang dananya nanti akan masuk ke Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pembelian kembali (buy back) atau penukaran terhadap Surat Utang Negara (SUN) termasuk obligasi rekap akan dilakukan melalui mekanisme pasar.

“Total pembelian kembali obligasi rekap sebesar Rp78,9 triliun yang terdiri atas cash buy back Rp29 triliun dan debt switch Rp49,9 triliun,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Rahmat, saldo obligasi rekap mencapai Rp162 triliun yang terdiri atas fixed rate sebesar Rp26,9 triliun dan variable rate sebesar Rp135,1 triliun. Obligasi rekap yang dimiliki bank rekap sebesar Rp119,9 triliun, bank non rekap Rp6 triliun, dan reksadana Rp11,2 triliun.

Kendati demikian, Rahmat mengingatkan bahwa obligasi rekap tidak mungkin dibatalkan. Pasalnya, sesuai UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN, pemerintah wajib membayar bunga atau kewajiban yang timbul dari SUN. Apabila obligasi rekap dibatalkan maka akan menimbulkan default.

Jika default terjadi, sambungnya, maka akan merusak neraca lembaga keuangan termasuk LPSdan BI. Bahkan, Global Bond dan Global Sukuk juga akan dinyatakan
default. Dampaknya akan menjadi lebih buruk lagi jika terjadi cross default.

“Pasalnya, tidak ada lagi investor yang datang serta tidak akan ada lembaga atau negara donor yang mau memimjamkan dana karena peringkat utang dinyatakan default,” katanya.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Kementerian Keuangan, Scenaider CH Siahaan, mengatakan total keseluruhan utang negara hingga saat ini mencapai Rp1.944 triliun. Jumlah utang ini berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp638 triliun, pinjaman dalam negeri Rp1 triliun serta Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp1.304 trilun. Meski begitu, ia yakin bahwa pemerintah dapat melunasi jumlah utang tersebut.

“Rasio utang negara terhadap PDB Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan menyampaikan bahwa pemerintah telah mengambil kebijakan yang salah terkait penerbitan obligasi rekapitulasi ini. Pasalnya, SUN yang diterbitkan oleh pemerintah untuk menyehatkan perbankan, pembayarannya dibebankan kepada publik atau pemerintah sendiri. Artinya, utang privat menjadi utang publik.

“Kebijakan ini sudah keliru sejak awal,” katanya ketika dihubungi oleh hukumonline.

Untuk itu, ia mengharapkan agar pemerintah segera memperbaiki kebijakan-kebijakan terkait penerbitan obligasi rekpitulasi. Dengan memberikan tanggung jawab pembayaran kewajiban kepada pihak perbankan, pemerintah tidak akan terbebani dengan bunga obligasi yang harus dibayar tiap tahunnya.

Padahal, lanjut Dani, penerbitan obligasi ini sendiri merupakan upaya untuk menyehatkan perbankan. Jadi, sudah menjadi kewajiban perbankan juga untuk ikut membantu pemerintah dalam menyelesaikan kewajibannya.


“Kontribusi pembayaran bunga obligasi rekapitulasi harus dibebankan kepada perbankan, bukan ke publik,” pungkasnya.

Tags: