Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat Tak Perlu Melalui Hukum Positif
Berita

Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat Tak Perlu Melalui Hukum Positif

Empat syarat pengakuan masyarakat hukum adat di konstitusi dinilai merupakan penyimpangan.

Leo
Bacaan 2 Menit
Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat Tak Perlu Melalui Hukum Positif
Hukumonline

 

Menanggapi hal ini Saafroedin Bahar, Komisioner bidang Masyarakat Hukum Adat Komnas HAM berpendapat pengakuan masyarakat hukum adat melalui hukum positif merupakan suatu penyimpangan dan bertentangan dengan semangat pembentuk konsitusi. Ia mengingatkan, penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang asli menghormati eksistensi masyarakat hukum adat tanpa syarat.

 

Menurutnya, pemerintah kolonial Belanda bahkan mengakui masyarakat hukum adat tanpa persyaratan. Ia menduga ada isu penguasaan sumber daya alam di balik dorongan agar masyarakat adat diakui secara legalistik formil. Jadi ada hidden agenda dari pembuat keputusan. Saya melihat ini keliru secara konseptual, kata Saafroedin kepada hukumonline.

 

Negara tidak mengakui

Sandra Moniaga, Koordinator Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan hukun Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) berpandangan meski paradigma legislasi di Indonesia sangat positivistik, tapi realitas di lapangan berbicara lain. Artinya masyarakat sendiri tidak sepenuhnya setuju dengan itu. Yang terjadi kan banyak sekali pengingkaran terhadap hukum-hukum negara. Ketika hukum negara tidak lagi menampung aspirasi masyarakat, maka hukum negara diabaikan, ujar Sandra kepada hukumonline.

 

Ia mencontohkan jutaan masyarakat yang saat ini tinggal di kawasan hutan, tidak tersentuh oleh aparat dari Departemen Kehutanan. Dan di masyarakat tersebut, hukum adat lah yang menjadi basis aturan.

 

Ditambahkan Sandra, belum adanya Perda atau hukum positif yang mengakui eksistensi masyarakat adat tidak lantas menimbulkan persoalan. Sebab, kata dia, persoalan biasanya baru muncul bila wilayah yang selama ini didiami masyarakat adat diberikan haknya kepada pihak lain. Ini artinya negara tidak mengakui hak adat tapi pemerintah justru menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan negara.

 

Contohnya di Bali. Tidak ada Perda yang menentukan siapa masyarakat adat. Perdanya hanya menentukan desa adat. Kecuali daerah yang dikembangkan pariwisata baru timbul ketegangan, cetusnya.

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip negara negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 

Dalam sebuah lokakarya mengenai inventarisasi dan perlindungan masyarakat hukum adat di Jakarta (14/6), Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri Dardjo Sumardjono, dalam penjelasan tertulisnya menyatakan ketentuan Pasal 18B UUD 1945 tersebut harus dijadikan dasar dalam pengaturan tentang keberadaan masyarakat hukum adat karena ketentuan tersebut diatur dalam konstitusi.

 

Dardjo menambahkan, pengaturan mengenai keberadaan satuan masyarakat hukum adat perlu diatur dalam hukum positif Indonesia, termasuk di dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Desa. Ditegaskannya, peraturan daerah atau peraturan desa yang nanti akan disusun harus memenuhi asas pembentukan pertauran perundang-undangan sebagaimana diatur Pasal 5 UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tags: