Pengamat Menilai Pemberhentian Kapolri Tepat
Berita

Pengamat Menilai Pemberhentian Kapolri Tepat

Jakarta, hukumonline. Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa Jendral (Pol) diberhentikan jabatannya sebagai Kapolri. Beberapa pengamat menilai pemberhentian Kapolri ini tepat karena Rusdihardjo dianggap lalai dan tidak tegas menyelesaikan berbagai kasus.

Ari/APr
Bacaan 2 Menit
Pengamat Menilai Pemberhentian Kapolri Tepat
Hukumonline

Pengamat politik Andi Malarangeng berpendapat, pemberhentian Kapolri pada saat maraknya terjadi kasus-kasus peledakan bom di berbagai wilayah merupakan waktu yang tepat. Pendapat Andi ini dilontarkan di sela-sela diskusi yang diadakan oleh Koalisi Organisasi Non-Partai dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada Senin (18/9). 

Menurut Andi, pemberhentian Rusdihardjo tersebut merupakan wujud dari akuntabilitas pertanggungjawaban Polri terhadap publik. Pemberhentian tersebut juga dinilai Andi sebagai sesuatu hal yang wajar. Alasannya, banyak kalangan yang menilai bahwa Rusdihardjo selama ini tidak dapat melaksanakan tugas yang diberikan oleh presiden dengan baik.

Di sisi lain, Andi mengemukakan bahwa dirinya tidak setuju apabila pemberhentian Kapolri harus dengan persetujuan dari DPR. Menurut Andi, pemecatan Kapolri itu adalah wewenang dari presiden sebagai "user". Namun kalau berbicara mengenai penggantinya, Andi setuju apabila presiden berkonsultasi dengan DPR.

Reorganisasi keseluruhan

Sementara itu, Budiman Sudjatmiko, Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) berpendapat bahwa penggantian Polri saja tidak cukup. Perlu reorganisasi secara keseluruhan dengan melakukan proses transparansi antara militer dan Polri karena kedua lembaga tersebut memiliki info intelijen yang signifikan.

Budiman mengatakan, "Meskipun Widodo (Pangab) dan Kapolri (yang akan menggantikan Rusdihardjo) loyal kepada Gus Dur, saya tidak yakin komando mereka akan sampai ke bawah. Karena, masing-masing instansi tersebut ada 'strong man-strong man' akibat dari adanya faksi-faksi," demikian komentar Budiman.

Andi Matalatta dari Fraksi Partai Golkar (FPG) mengatakan bahwa penggantian Kapolri tidak menyelesaikan masalah. Dalam kondisi sekarang ini, menurutnya yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang ada, seperti kasus-kasus pemboman dan kasus-kasus lain yang belum tuntas hingga kini.

Menurut Matalatta, sebaiknya apa yang sudah dilakukan oleh Kapolri dilempar kepada masyarakat. "Biarkan masyarakat yang menilai baik atau tidak kinerjanya selama menjabat sebagai Kapolri. Kalau memang tidak baik, barulah dapat dilakukan penggantian agar tidak menimbulkan masalah baru," ujarnya.

Namun, Matalatta juga mengakui bahwa saat ini secara umum, masih sulit untuk menilai kinerja Polri. Pasalnya, Polri tidak proaktif untuk menjelaskan apa saja yang sudah dikerjakannya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tidak proaktif terhadap Polri.

Andi Matalatta menilai bahwa walau bagaimanapun, pemberhentian Rusdihardjo sebagai Kapolri harus dijelaskan. "Bisa saja presiden dalam hal memberhentikan Kapolri ini berkonsultasi dengan DPR, dan bisa juga keputusan itu diambilnya sendiri," katanya.

Mengabaikan tugas

Hasballah M. Saad, mantan Menteri Negara Urusan HAM memandang, alasan Presiden memberhentikan Rusdihardjo sebagai Kapolri adalah lebih dikarenakan selama ini Kapolri banyak mengabaikan tugas-tugas yang diperintahkan presiden.

Hasballah memberikan contoh, misalnya saja pada sidang kabinet yang lalu presiden memerintahkan Rusdihardjo untuk menangkap otak dari kasus-kasus yang terjadi di Ambon. Namun sampai saat ini, belum ada tindakan tegas dari Rusdihardjo.

Munir dari Kontras juga menyatakan, apabila melihat kinerja Rusdihardjo selama ini, memang tidak ada kasus besar yang berhasil diselesaikan dengan baik oleh Rusdihardjo, kecuali untuk kasus 27 Juli.  Sementara itu untuk kasus-kasus lain, seperti misalnya kasus pemboman, menurut Munir, Rusdihardjo cenderung resisten terhadap apa yang mau diungkapkannya.

Munir mencontohkan, kasus pemboman di Kejaksaan Agung beberapa waktu yang lalu. Pihak kepolisian sudah mengetahui identifikasi alat peledak dari Kodam V/Brawijaya, tetapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjutnya. "Seharusnya pihak kepolisian dapat meminta keterangan dari Mabes AD dan Pindad, tetapi ketika yang diminta memberi keterangan tidak datang, lalu mandek sampai di situ dan tidak ada tindak lanjutnya," cetusnya.

Munir sependapat dengan Hasballah bahwa pemberhentian Rusdihardjo karena tidak mempunyai sikap yang tegas dalam menghadapi kasus-kasus yang banyak menjadi sorotan masyarakat, termasuk kasus pemboman yang meledak di BEJ. Ia juga menyetujui langkah yang diambil presiden tersebut dengan memberhentikan Rusdihardjo sebagai Kapolri.

Namun, lebih lanjut Munir mengemukakan bakwa setelah pencopotan Rusdihardjo dari jabatannya sebagai Kapolri, penggantinya haruslah merupakan orang yang tepat.  Dan yang paling penting lagi, menurut Munir, siapapun yang akan menggantikan Rusdihardjo sebagai Kapolri haruslah ada alat ukur yang jelas. Orang itu dinilai pantas dan layak mengatasi berbagai macam tantangan yang saat ini ada di depan mata.

Mengomentari pengganti Rusdihardjo, Bimantoro, Munir mejelaskan bahwa hanya dua hal yang diketahuinya tentang Bimantoro. Pejabat sementara Kapolri ini sangat dekat dengan Wakil Presiden Megawati dan  juga mantan ajudan Soeharto semasa Orde Baru. Ujian yang harus dihadapi Bimantoro adalah bagaimana menyelesaikan kasus BEJ dan bom di Kejaksaan Agung dengan tuntas, sehingga dapat memuaskan masyarakat.

Tags: