Pengaturan Bisnis dan HAM dalam RANHAM Dinilai Masih Jauh dari Harapan
Terbaru

Pengaturan Bisnis dan HAM dalam RANHAM Dinilai Masih Jauh dari Harapan

Dari 3 pilar Bisnis dan HAM sebagaimana mandat UNGPs hanya satu yang masuk dalam RANHAM yakni pilar pertama kewajiban negara untuk melindungi HAM. Masyarakat sipil menilai idealnya panduan Bisnis dan HAM sebagaimana mandat UNGPS dituangkan dalam bentuk RAN tersendiri khusus tentang Bisnis dan HAM.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam Live Instagram Hukumoline bertajuk 'Integrasi Bisnis dan HAM dalam RANHAM: Bagaimana Kaitannya Dengan Strategi Nasional Bisnis dan HAM Indonesia?', Kamis (15/7/2021). Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam Live Instagram Hukumoline bertajuk 'Integrasi Bisnis dan HAM dalam RANHAM: Bagaimana Kaitannya Dengan Strategi Nasional Bisnis dan HAM Indonesia?', Kamis (15/7/2021). Foto: RES

Sudah 10 tahun lalu, Dewan HAM PBB menerbitkan United Nations Guideline Principle of Business and Human Rights (UNGPs). Tahun 2017, Komnas HAM dan Elsam menginisiasi dibentuknya Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM. Harapannya, pemerintah bisa melakukan hal yang sama sebagai upaya mengimplementasikan mandat UNGPs.

Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM, Hajerati, mengatakan Bisnis dan HAM sudah terintegrasi menjadi bagian rencana aksi dalam RANHAM 2021-2025. RANHAM 2021-2025 diatur dalam Peraturan Presiden No.53 Tahun 2021 tentang RANHAM Tahun 2021-2025.

Ada 4 kelompok yang disasar yakni perempuan; anak; penyandang disabilitas; dan kelompok masyarakat adat. Hajerati mengatakan pada setiap kelompok itu ada isu bisnis dan HAM, misalnya perempuan, ada mandat untuk menjalankan aksi HAM berupa penyusunan peraturan oleh pelaku usaha untuk melindungi hak perempuan di bidang ketenagakerjaan.

Begitu juga dengan kelompok anak, ada rencana aksi HAM untuk bebas dari pekerja anak dan kelompok disabilitas ada aksi untuk mendorong rekrutmen dari kalangan penyandang disabilitas yang dilakukan lembaga pemerintah dan badan usaha. Untuk kelompok masyarakat adat, rencana aksi yang didorong diantaranya meningkatkan partisipasi dalam proses perizinan perusahaan yang berpotensi bersinggungan dengan hak masyarakat adat, misalnya pembukaan lahan baru.

Tapi integrasi Bisnis dan HAM dalam RANHAM dinilai belum cukup, dan pemerintah saat ini masih membahas Strategi Nasional Bisnis dan HAM. Hajerati mengatakan baik RANHAM dan Stranas akan saling melengkapi. “Isu Bisnis dan HAM itu kompleks karena harus melakukan pendekatan ke beberapa pihak termasuk kalangan bisnis atau perusahaan,” kata Hajerati dalam diskusi daring bertajuk “Integrasi Bisnis dan HAM dalam RANHAM: Bagaimana Kaitannya Dengan Strategi Nasional Bisnis dan HAM Indonesia?', Kamis (15/7/2021). (Baca Juga: RANHAM Generasi Kelima: PR Besar Melanjutkan Komitmen Penegakan HAM di Indonesia)

Hajerati melanjutkan pemerintah serius mempercepat implementasi RANHAM. Sekarang pihak yang dimandatkan untuk menjalankan rencana aksi tak hanya diminta laporan yang sifatnya adminstratif, tapi juga substantif. Diharapkan 5 tahun lagi dapat terlihat hasil dari implementasi RANHAM ini.

Dosen Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj, mengatakan nomenklatur Bisnis dan HAM tidak disebut secara tegas dalam RANHAM. Kelompok Kerja Bisnis dan HAM PBB membuat kategori negara yang melaksanakan RANHAM Bisnis dan HAM yakni ada negara yang punya program yang jelas tentang Bisnis dan HAM, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Ada juga negara yang mengintegrasikan Bisnis dan HAM dalam RANHAM seperti Thailand. Indonesia masuk kategori negara yang sedang melakukan penyusunan kebijakan Bisnis dan HAM.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait