Dalam kesempatan sama, pakar linguistik forensik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Endang Sholihatin menjelaskan kejahatan berbahasa telah diatur dalam berbagai perundang-undangan. Seperti UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik dan KUHP.
Berbagai kejahatan berbahasa antara lain pencemaran nama baik, penghinaan, penistaan, fitnah, ancaman, propaganda, hasutan, konspirasi, ujaran kebencian, berita bohong, penyuapan hingga kesaksian palsu. Dengan terdapatnya unsur pidana dalam lingkup bahasa, peran linguistik menjadi penting dalam penegakan hukum yang berkeadilan.
Baginya, bahasa amat berperan penting dalam memberikan titik terang pembuktian hukum agar asas kepastian hukum. kemanfaatan, dan keadilan dapat terpenuhi. Kemudian dapat memberikan pertimbangan ilmian kepada pihak-pihak terkait. Seperti Polri, Kejaksaan dan Kehakiman.
Sementara itu, peneliti Pusat Riset Bahasa Sastra dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Natal P Sitanggang memaparkan ranah hukum dan wacana dalam terminologi ilmu bahasa (linguistik) ibarat dua insan sejoli yang bisa saling menyumbang atau berbagi khazanah.
Hukum menemukan objeknya sebagai masalah atau kasus, sedangkan bahasa (berupaya) mengkonstruksi, merekonstruksi, lalu mengurai konsep pemikiran di dalamnya. Semisal bahasa digunakan sebagai alat kejahatan, hukum menyediakan konsep punishment untuk pelakunya.
Dia menekankan pentingnya analisis secara komprehensif atas kasus pemidanaan yang berhubungan dengan kebahasaaan. Contohnya pada kasus penghinaan perlu diketahui terlebih dulu kronologi tindak pidana tersebut. Terdapat kasus tindak pidana penghinaan oleh tersangka karena menggunakan kata ’bangsat’ pada korban. Padahal, sebelumnya korban tersebut menghina tersangka terlebih dahulu namun tidak dilaporkan.
”Sehingga, perlu diperhatikan ada sesuatu yang tidak seimbang, melibatkan relasi kekuasaan antara institusi negara dengan warga negaranya sendiri," katanya.