Perang dan Musuh Baru
Tajuk

Perang dan Musuh Baru

​​​​​​​Pemerintah sudah waktunya melihat kenyataan dan kemampuannya untuk memberikan keputusan-keputusan terbaik.

RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dalam beberapa edisi Tajuk Hukumonline sebelumnya, saya mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana dunia usaha melakukan analisa dan mitigasi risiko dalam aktivitas bisnis mereka, dan tentang bagaimana keputusan-keputusan penting dibuat oleh pemutus kebijakan dalam masa krisis. Tajuk Hukumonline tersebut mencoba memberikan gambaran tentang risiko dan krisis yang hebat yang pernah terjadi dalam peradaban manusia modern. Contoh yang diambil antaranya adalah tentang krisis keuangan, yang banyak membangkrutkan bank dan dunia usaha serta konglomerasi besar. Sebagian memang tenggelam, tidak bisa muncul lagi, tetapi sebagian lainnya bangkit dan berkembang menjadi besar lagi.

 

Resiliensi kalangan dunia usaha memang luar biasa. Mereka tangguh dan banyak akalnya. Krisis ekonomi dan moneter 1998 di Asia dan di Eropa dan Amerika Serikat 2008 memakan waktu pemulihan sekitar mulai 5 tahun sejak awal krisis, itupun dengan sangat lambat. Contoh lainnya adalah krisis karena bencana alam, seperti tsunami di Aceh dan gempa besar di Yogyakarta dalam waktu yang tidak terlalu jauh. Daerah-daerah ini sebagian luluh lantak dengan korban jiwa dan harta yang luar biasa besarnya. Pada saat ini, dengan kenangan yang masih menyayat hati, terutama di antara keluarga korban, wilayah-wilayah ini telah bangkit kembali dengan kehidupan "normal baru".

 

Betapapun dahsyatnya krisis ekonomi, moneter dan bencana alam, banyak sisinya bisa dipetakan sebelumnya, dimitigasi dan dikelola pemulihannya. Bencana alam biasanya hanya terjadi dalam waktu sangat singkat, walaupun dampak merusaknya luar biasa dan pemulihannya butuh waktu. Gempa dan tsunami di Tohoku, Jepang tahun 2011 begitu dahsyat, dengan ancaman lain berupa radiasi nuklir dari instalasi PLTN. Disiplin kerja tinggi pemerintah dan masyarakat Jepang telah membuat mereka bangkit dengan cepat.

 

Yang kita hadapi sekarang ini, musuh atau bahaya pandemi Covid-19, sama sekali berbeda. Belum pernah kita hadapi dalam sejarah umat manusia dalam skala global musuh yang tidak kelihatan, menyusup diam-diam melewati batas-batas negara, bangsa, suku, etnik, agama, kelas dalam sistem masyarakat, tingkat ekonomi, dan budaya. Semua sama terpaparnya. Semua sama lemahnya dan sama tidak siapnya menghadapi musuh ini.

 

Umat manusia dalam peradaban modern pernah mengalami sejumlah epidemi dan pandemi yang dahsyat: (i) Spanish Flu (1918-1920) yang mengambil korban dari seluruh penjuru dunia diperkirakan sampai 100 juta jiwa, (ii) Asian Flu (1957-1958) dengan 1.1 juta korban jiwa diseluruh dunia, (iii) AIDS (1981-sekarang) dengan korban jiwa 35 juta diseluruh dunia dan masih terus berjangkit, (iv) H1N1 Swine Flu (2009-2010) dengan korban jiwa 151.700-574.400 jiwa diseluruh dunia, (v) West African Ebola (2014-2016) dengan 11,325 korban jiwa, san (vi) Zika Virus (2015-sekarang) (Owen Jarus, livescience 2020).

 

Tidak ada yang bisa meramal dengan pasti kapan pandemi Covid-19 akan mencapai puncaknya, menurun dan mulai lenyap. Para ahli matematika membuat banyak ramalan dengan berdasarkan pergerakan angka di Wuhan, Korsel, dan Italia, tetapi mereka bukan ahli medik atau pandemi, bukan juga ahli ilmu politik dan sosial yang memahami bagaimana negara bereaksi dan bagaimana faktor sosiologis dan budaya masyarakat mempengaruhi laju pandemi, dan bukan ahli hukum yang memahami kecukupan regulasi suatu negara dalam menangani suatu kondisi darurat. Semua itu unsur yang sangat mempengaruhi kecepatan pandemi dan penanggulangannya.   

 

Virus bermutasi terus, dan bahaya ini akan terus mengintai kita secara global sepanjang masa. Para ahli akan tetap berkejaran dengan waktu untuk meneliti, mencoba, melewati proses persetujuan, dan memproduksi antivirus, yang sangat memakan waktu dan biaya, dan dalam hampir dalam semua kasus tertinggal dengan kecepatan virus bermutasi dan menyebar. Pertimbangan etik, moral dan tanggung jawab hukum serta birokrasi sering mengalahkan kebutuhan untuk mendapatkan penyembuhan secara cepat. Penyembuhan dengan obat-obatan yang masih dalam masa percobaan juga mengundang risiko kesehatan jangka pendek dan panjang yang masih belum diketahui dampaknya pada sistem kesehatan, finansial dan hukum.

 

Baca:

 

Pemerintah di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia, dihadapkan pada pilihan-pilihan luar biasa sulitnya dalam mengambil keputusan. Sistem kenegaraan dan politik menentukan bagaimana kecepatan keputusan diambil. Negara dengan sistem demokrasi mempunyai jalur keputusan yang lebih panjang dibanding dengan negara dengan sistem otokratik. Di sejumlah negara penggunaan undang-undang tentang keadaan darurat terpaksa ditempuh. Apapun keputusan yang diambil oleh pemerintah suatu negara, pasti akan ada dampaknya ke depan di segala bidang. Setiap negara akan mempunyai kehidupan normal baru, dengan segala manfaat dan pil pahit yang terpaksa harus ditelan.

 

Pemerintah Indonesia yang pada awalnya memulai upaya penanggulangan pandemi Covid-19 dengan ragu dan meremehkan, saat ini sudah mulai melihat bahaya akan sikap tersebut dan mulai terlihat serius dengan keputusan-keputusannya hari-hari ini, apalagi setelah menyadari bahwa bahaya itupun mengintai kalangan terdekat dengan pusat kekuasaan. Korban sudah mulai berjatuhan dengan rasio fatalitas saat ini termasuk tertinggi di dunia (mungkin karena data aktual tidak secara transparan diumumkan), dan penyebaran infeksi belum secara teknologi bisa dideteksi, sehingga menimbulkan keraguan tentang jumlah faktual mereka yang terdiagnosa positif, orang dalam pemantauan, atau pasien dalam pemantauan.

 

Apakah keputusan yang hari ini diambil akan betul bisa mencegah pandemi secara efektif? Apakah korban jiwa akan lebih bisa dikendalikan? Apakah kita mempunyai kemampuan finansial, kesiapan fasilitas dan tenaga medik yang cukup untuk mengatasi pandemi di Jakarta, provinsi luar Jakarta, daerah terpencil? Apakah disiplin masyarakat bisa ditegakkan dengan ketegasan penegakan hukum? Apakah negara dan masyarakat kita bisa mendukung kehidupan anggota masyarakat yang terpaksa harus tinggal di rumah dan terputus penghasilannya (kesiapan dana dan sistem logistik)? Apakah kita mau, bisa dan berhasil mendapatkan bantuan asing kalau peningkatan pandemi tidak bisa dibendung?

 

Semua pertanyaan tersebut tentu tidak bisa dijawab saat ini, dan tidak adil untuk membebankannya kepada pemerintah. Pada saat ini penanggulangan pandemi Covid-19 adalah masalah dan urusan kita semua, masalah pemerintah, dunia usaha, tokoh masyarakat, masyarakat sipil dan setiap individu anggota masyarakat.

 

Sudah saatnya kepentingan politik dan ekonomi ditanggalkan, perbedaan ideologis, agama, dan sistem sosial ditinggalkan, dengan satu tujuan, yaitu menyelamatkan setiap anggota masyarakat yang terpapar, tanpa perbedaan, berdasarkan kepentingan kemanusiaan semata.

 

Pemerintah sudah waktunya melihat kenyataan dan kemampuannya untuk memberikan keputusan-keputusan terbaik. Pengalaman terbaik yang dicontohkan oleh China, Jepang dan Korea Selatan bisa menjadi referensi. Dunia usaha sudah waktunya untuk menyadari bahwa ini saatnya melakukan "payback" kepada bangsa dan negara melebihi kewajibannya. Masyarakat sipil dan tokoh masyarakat wajib terjun menggalang dana publik dan memberikan pendidikan dan komunikasi efektif kepada anggota masyarakat secara positif untuk memerangi Covid-19 dalam kapasitasnya masing-masing.

 

Apapun "normal baru" yang akan kita hadapi nanti, hari ini sudah seharusnya kita menjadi satu, dalam semangat, gerakan dan perilaku dalam memerangi musuh baru ini.

 

ats, Maret 2020

Tags:

Berita Terkait