Perang Tak Berujung
Tajuk

Perang Tak Berujung

Bersama kita bisa mengatasi semua masalah sebesar apapun.

RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Perang, pertempuran, pertandingan atau kompetisi apapun membutuhkan strategi jitu. Dalam menetapkan strategi, para pelaku membutuhkan pengalaman yang sama atau mirip dengan yang akan dihadapi atau setidaknya pengalaman pihak lain yang bisa diamati bahkan ditiru, organisasi yang terstruktur, garis komando yang jelas, kemampuan teknis, kemampuan memperhitungkan semua risiko dan ancaman yang ada, komunikasi yang baik dan seringkali ketulusan dan kerendahan hati di dalam menghadapi semua tantangan di depan.

 

Perang melawan Covid-19 tidak terkecuali. Diperlukan suatu strategi bagi suatu negara atau bahkan suatu wilayah terkecil apakah akan melakukan lockdown, karantina wilayah atau pembatasan wilayah secara luas atau terbatas dengan social disctancing yang ketat dan diawasi dengan sistem sanksi yang jelas, atau bahkan membiarkan terjadinya herd immunity untuk menumbuhkan kekebalan yang meluas di kalangan masyarakat untuk akhirnya menghentikan pagebluk ini. Para pemimpin negara dan bahkan wilayah mempunyai cara mereka sendiri dalam menangani pandemi dahsyat ini.

 

Keputusan mereka kemarin dan sekarang ini akan menentukan sejarah negara atau wilayah itu. Satu atau sedikit orang akan menentukan kehidupan begitu banyak manusia dan keluarga yang akan terdampak dengan keputusan tersebut. Suatu hari nanti kita akan berterima kasih kepada mereka yang membuat keputusan yang benar, atau mengutuk mereka sampai akhir hayat karena luka menoreh dalam yang ditimbulkannya. Manusia umumnya pemaaf, tetapi tidak atas tindakan gegabah yang menghilangkan begitu banyak nyawa umat manusia.

 

Problem utama kita, dan semua negara di dunia, adalah minimnya pengalaman yang sama atau mirip dalam menangani krisis Covid-19. Hongkong hanya salah satu dari sedikit negara yang punya pengalaman dalam menghadapi wabah SARS. Terbukti Hongkong cukup baik merespons wabah ini dibanding dengan negara lain. Kurangnya pengalaman ini menjadikan hampir semua negara gagap dalam menangani krisis ini. Tidak terkecuali Indonesia.

 

Tengok saja komentar-komentar pertama para pejabat tinggi kita. Kalau melihat perspektif sekarang rasanya memalukan. Atau tidak perlu malu karena pemimpin negara besar seperti Trump saja sejak awal sampai sekarang juga melawan perang ini dengan pernyataan-pernyataan yang kontroversial, menuduh sana-sini, bahkan membahayakan, dan memulai tindakan-tindakannya berdasarkan kepentingan "America First", termasuk menahan pendanaan bagian AS kepada WHO. Di saat d imana kerja sama internasional dibutuhkan. Teman saya, warga negara Amerika, mengatakan: "it's beyond me, I have no more to comment him".

 

Kurangnya pengalaman menyebabkan sejumlah pemerintah melakukan kebijakan coba-coba. Pertama kali Inggris mencoba sistim herd immunity, tetapi segera dicabut dengan melakukan social distancing ketat karena tiba-tiba jumlah korban fatal melonjak cepat. Pengalaman PM mereka, Boris Johnson, dirawat sebagai pasien positif Covid-19 rupanya membantu perumusan kebijakan yang lebih tepat dan manusiawi.

 

Jerman dan Belanda tampak confident dengan kebijakannya, karena rata-rata tingkat kesehatan rakyatnya baik di tingkat dunia sehingga imunitas mereka lebih tinggi, ditambah kesiapan sistem kesehatan mereka yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Kanselir Merkel di awal krisis sudah wanti-wanti bahwa setengah dari penduduk Jerman kemungkinan akan terinfeksi. Peringatannya diikuti dengan serangkaian kebijakan dan tindakan nyata di lapangan dengan menyiapkan sistem testing secara masif, mendisiplinkan social distancing bagi warga Jerman yang sebetulnya sudah tinggi disiplinnya, dan menyiapkan sistem perawatan kesehatan yang cepat tanggap.

 

Jerman, Belanda dan sejumlah negara Eropa lainnya mungkin akan menjadi champions dalam penanganan krisis ini. Mereka tidak segan belajar dari Tiongkok, mereka bekerja sama dengan Tiongkok dengan menghilangkan batas-batas politik dan kecurigaan, sehingga mendapatkan pengalaman berharga dari Tiongkok yang sekarang sudah mendekati fase normal. Dan kini berlomba-lomba, dengan kerja sama internasional, mereka ikut mempercepat proses penemuan dan produksi masal anti-virus.

 

Indonesia harusnya tidak malu belajar dari pengalaman negara lain. Di awal pandemi, sejumlah pejabat kesehatan kita mengatakan bahwa kita sudah siap, karena kita punya pengalaman banyak menghadapi serangan flu burung, MERS dan SARS. Kesombongan ini berharga mahal. Pengalaman itu ternyata tidak sama. Covid-19 adalah virus baru, itu sebabnya disebut "novel", dan pengalaman tanpa kesiapan ternyata tidak berguna. Kita akhirnya tergagap-gagap, dan kritik sebagai salah satu negara yang buruk menangani masalah ini harus kita telan mentah-mentah.

 

Kemampuan teknis dan organisasi dari setiap negara sangat menentukan keberhasilan menangani krisis. Kemampuan ini menyangkut kesiapan dan kelengkapan database, bagaimana melakukan kendali pencegahan dan perawatan melalui sistem daring, kesiapan tenaga medis baik dalam jumlah maupun kemampuan, jumlah dan kualitas infrastruktur dan alat kesehatan, bagaimana dapat melakukan testing imunitas atau kepastian penularan dalam skala masif, serta akhirnya kemampuan menyediakan sistem perawatan yang tepat dan jumlah yang cukup untuk menyembuhkan mereka yang sudah positif terpapar.

 

Lagi-lagi begitu banyak negara tergagap-gagap, tidak terkecuali Indonesia, yang bisa dimaklumi karena ini penyakit baru. Tetapi setelah kita mengetahui adanya masalah ini selama lebih dari 4 bulan, rasanya tidak fair untuk rakyat dan pembayar pajak kalau tetap terus memberikan maaf. Dengan waktu 4 bulan, dengan berkaca pada pengalaman negara lain, baik yang melakukan penanganan dengan baik ataupun yang buruk, kita harus sudah berada dalam posisi yang baik untuk mempunyai kebijakan dan kemampuan lapangan yang cukup untuk menekan penularan dan menyembuhkan yang sudah terpapar.

 

Perdebatan sengit mengenai pilihan "health or wealth" juga sudah mampir di tanah air. Pernyataan-pernyataan pejabat kita jelas mendengungkan "wealth" sebagai sesuatu yang sangat penting, seakan mengalahkan mengutamakan "health". Hal yang tidak bisa dikatakan sebagai sama sekali salah, karena: (a) ketidakmampuan kita secara finansial melakukan total lockdown secara nasional, yang artinya harus mampu memberikan pasokan makan kepada mereka yang tidak mempunyai kemampuan mandiri karena harus diam di rumah, dan (b) ketidaksiapan sistem logistik kita untuk mencapai seluruh pelosok tanah air, pulau-pulau terpencil, maupun daerah padat kumuh sepeti misalnya di Jakarta dan Jawa Barat.

 

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karenanya menjadi pilihan pemerintah. Dengan kebijakan ini, diharapkan terbangun disiplin tinggi masyarakat untuk tinggal dan bekerja di rumah, ekonomi terutama di tingkat bawah masih bergerak untuk menghidupi mereka yang tidak terjangkau sistem stimulus dan bantuan langsung, dan rapid test dan tes laboratorium mulai digalakkan untuk mencegah pandemi lebih luas.

 

Sejumlah pemerintah daerah juga mengimbau agar para warganya tidak mudik tahun ini, dan para pemuka agama berpengaruh sudah cukup upaya untuk menganjurkan umatnya untuk tidak berkumpul melakukan ritual keagamaan. Waktu yang akan membuktikan apakah kebijakan ini tepat untuk Indonesia. Kita hanya bisa melakukan apa yang terbaik yang berada dalam kendali kita masing-masing. Risiko sistem ini juga sangat besar, karena tingkat kesehatan rata-rata penduduk Indonesia yang relatif rentan, mobilitas penduduk yang tinggi, dan disiplin yang belum terbangun baik, yang sangat bisa menyebabkan meningkatnya jumlah mereka yang tertular.

 

Sistem kesehatan kita dalam kondisi yang memprihatinkan, dan dikuatirkan tidak akan mampu menampung pasien dalam skala besar bila pandemi memburuk. Anjuran berdoa agar kita bisa mengatasi ini semua sebenarnya baik saja mengingat kita adalah umat yang beragama, tetapi Allah SWT juga memberikan kita akal budi untuk melakukan upaya terbaik mencegah memburuknya pagebluk. Pertanyaan religiusnya, apakah kita sudah menggunakan anugerah luar biasa dari Allah SWT untuk melakukan yang terbaik untuk mencegah meningkatnya bencana ini? Pengambil kebijakan mungkin akan mengatakan sudah maksimal dalam batas kemampuan dan sumber daya mereka, tetapi para korban atau bagian dari masyarakat yang terdampak berkepanjangan, suatu waktu nanti mungkin akan mengatakan itu semua belum cukup.

 

Kita tahu bahwa Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19. Perppu akhirnya dikeluarkan setelah begitu banyak desakan. Selanjutnya disusul oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan dan lain-lain turunannya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Terlihat kesan bahwa pemerintah mau berperang melawan Covid-19 dengan landasan hukum yang baik. Perppu secara jelas mengatur mengenai imunitas pejabat pengambil keputusan. Tentunya ini berkaca pada pengalaman buruk menangani krisis BLBI dan Bank Century yang besar bobot politisnya. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Tingkat penularan dan kematian terus menanjak.

 

Masyarakat awam dibingungkan dengan begitu banyak regulasi yang keluar sekaligus, dan satu dan lainnya bahkan saling bertentangan (kebijakan Menhub vs Menkes) tentang transportasi ojol. Kebijakan tentang relaksasi kewajiban debitur misalnya, membingungkan para kreditur, lembaga perbankan dan keuangan yang diluruk oleh banyak debitur yang minta penghapusan atau pengurangan pembayaran, sementara mereka belum disiapkan untuk memperoleh stimulus atau dukungan pemerintah.

 

Sementara itu di lapangan kita lihat masyarakat masih berkerumun di stasiun dan di dalam KRL komuter, dan lalu lintas di jalan masih cukup ramai dengan kendaraan pribadi, di masa di mana PSBB dilaksanakan di Jakarta dan kota-kota sekitarnya, dan anjuran bekerja dan tinggal di rumah masih berlaku. Tes cepat dan PCR yang dijanjikan masih yang terendah di dunia. Sementara kita membaca bahwa tenaga kesehatan kita sudah kewalahan menangani pasien yang membludak ke rumah-rumah sakit rujukan, dan tingkat kematian mereka yang sakit masih yang tertinggi di dunia karena sistem rapid test dan PCR belum cukup menjangkau populasi luas.

 

Hal ini membuktikan bahwa kebijakan tanpa kesiapan dalam berbagai bidang yang disebutkan di atas, hanya akan membuat masyarakat bertanya-tanya tentang efektivitas kebijakan dan birokrasi. Betul bahwa Menteri Kesehatan diberi kewenangan besar, dan Gugus Tugas Covid-19 diberi kewenangan dan dukungan besar dari berbagai pihak. Dalam penanganan krisis yang sukses, terbukti bahwa garis komando yang tegas dengan kewenangan yang jelas merupakan kunci keberhasilan. Garis komando yang jelas juga harus dibarengi dengan cara berkomunikasi yang baik. Terkesan para pejabat pemerintah terlalu banyak bicara, miskin berbuat. Kalaupun mencoba berkomunikasi, mereka berkomunikasi dengan cara yang buruk.

 

Di tengah kondisi seperti ini optimisme yang dibangun seharusnya adalah semangat untuk berdisiplin tinggi menjaga jarak sosial, bekerja efektif di rumah masing-masing, dan menjaga jarak fisik kalau terpaksa sekali harus keluar rumah, dan menjaga kesehatan untuk membangun imunitas. Dalam kondisi seperti ini, janganlah masyarakat diberi mimpi bahwa Covid-19 tidak tahan suhu panas di Indonesia (mungkin betul tetapi tidak berarti tidak bisa tertular di suhu panas Indonesia), atau bahwa industri pariwisata akan segera booming karena orang merasa terpenjara di rumah selama berbulan-bulan, dan bahwa kita segera keluar dari dampak krisis tahun depan. Komunikasi demikian buruk sekali. Masyarakat sudah melek Covid-19 dan dampak ekonomi dan sosialnya. Setiap hari orang semakin sering berselancar mencari informasi terbaru dari sistem informasi dunia, bukan hanya dari media masa, atau media sosial yang penuh dengan informasi sesat.

 

Laporan yang diberikan oleh Dr Fauci pagi ini di Gedung Putih kepada Presiden Trump akan kita ketahui sore ini di Indonesia sepanjang itu bukan "classified information". Kita semua tahu bahwa krisis ekonomi 1998 baru bisa membuat Indonesia bangkit setelah 5-6 tahun. Krisis keuangan tahun 2008 menyebabkan keringnya likuiditas sampai dua tahun kemudian. Dampak resesi ekonomi karena Covid-19 dikatakan para ahli ekonomi sebagai lebih dahsyat dibandingkan dengan the Great Depression 1930 dan the Great Recession sejak 2005.

 

Walaupun sistem ekonomi kita mungkin lebih baik dibanding tahun 1998 dan 2008, dan kita akan lebih cepat bangkit, tetapi dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1% (kalaupun ini terjadi) akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kita kembali bangkit. Memberikan mimpi boleh saja, tetapi bukankah lebih baik memberikan semangat untuk bangkit dengan rendah hati dan mengajak semua unsur masyarakat, baik teman maupun lawan politik, untuk berkontribusi dalam menangani krisis ini merupakan cara berkomunikasi yang lebih baik?

 

Kita bersama saksikan sekarang ini bahwa solidaritas sosial mulai bangkit. Penyiapan sistem kesehatan kita bukan saja menjadi monopoli pemerintah, tetapi banyak pengusaha dan bahkan warga negara dengan uang pas-pasan ikut membantu. Dorongan untuk membantu yang lemah juga bangkit secara meluas. Wilayah-wilayah terkecil di tingkat RW mulai mendesakkan sistem karantina dan social distancing secara ketat. Dapur-dapur umum mulai diusahakan oleh masyarakat sendiri. Tetangga yang membutuhkan bantuan mulai menerima uluran tangan. Sejumlah keluarga mampu mengembalikan bantuan sembako yang menurut mereka salah sasaran. Demikian akan bergulir seterusnya.

 

Pemerintah perlu merangkul upaya-upaya ini dengan rendah hati. Untuk memberikan semangat kepada rakyat yang juga sedang berjuang memenuhi anjuran pemerintah dan hidup dengan gerakan terbatas, sebaiknya para pejabat kita berkomunikasi lebih baik. Bersama kita bisa mengatasi semua masalah sebesar apapun. Resiliensi umat manusia sudah terbukti dalam mempertahankan peradaban manusia.

 

ats - Babakan Madang, 17 April 2020     

Tags:

Berita Terkait