Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah
Expert Review

Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah

Tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. UU Bahasa tidak mengatur akibat hukum apa pun.

Bacaan 9 Menit

Berbagai undang-undang lain—seperti Pasal 1851 KUHPerdata, Pasal 1682 KUHPerdata, dan Pasal 9 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) —yang mengharuskan persyaratan formal suatu perjanjian mengatur akibat hukum jika tidak dipenuhi.

Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan, “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”.

Menyimpang dari asas kebebasan berkontrak, Pasal 1851 KUHPerdata mensyaratkan perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi—dalam arti perjanjian perdamaian tidak dibuat secara tertulis—maka perjanjian tersebut tidak sah.

Selanjutnya Pasal 1682 KUHPerdata berbunyi, “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Pasal ini mengharuskan hibah dilakukan dengan suatu akta notaris. Apabila tidak dilakukan dengan akta notaris maka hibah tersebut batal.

Terakhir, UU Arbitrase mensyaratkan perjanjian memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibuat secara tertulis dan berisi masalah yang dipersengketakan. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Pasal 9 ayat 1, ayat 3 huruf a, dan ayat 4 UU Arbitrase menyatakan, “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak; (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. Masalah yang dipersengketakan; (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”.

Perjanjian yang ditulis juga dalam bahasa asing hanya dalam hal perjanjian itu melibatkan pihak asing. Pasal 26 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Presiden No.63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres Bahasa Indonesia) mengatur tentang bagaimana hubungan antara Perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan yang ditulis dalam bahasa asing.

Tags:

Berita Terkait