Hari Privasi Data Internasional: Kebijakan Perlindungan Komprehensif Diperlukan
Utama

Hari Privasi Data Internasional: Kebijakan Perlindungan Komprehensif Diperlukan

RUU PDP yang telah melewati uji publik sebenarnya diharapkan mampu menjadi instrumen kebijakan menyeluruh meningkatkan perlindungan data pribadi. Sayangnya, tarik-ulur pembahasan membuat RUU tersebut tak kunjung disahkan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Memperingati Hari Privasi Data Internasional yang bertepatan pada 28 Januari, potret perlindungan data pribadi Indonesia masih lemah. Berbagai kasus kebocoran data pribadi telah terjadi di Indonesia. Dalam kondisi tersebut, penegakan hukum dan perbaikan kebijakan perlindungan data masih belum memadai. Hal ini menyebabkan risiko kebocoran data pribadi masih tinggi sehingga merugikan masyarakat.

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang telah melewati uji publik sebenarnya diharapkan mampu menjadi instrumen kebijakan menyeluruh meningkatkan perlindungan data pribadi. Sayangnya, tarik-ulur pembahasan membuat RUU PDP tak kunjung disahkan.

Saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019) mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memberitahukan secara tertulis pada pemilik data pribadi apabila terjadi kegagalan dalam perlindungan terhadap data pribadi yang dikelolanya (data breach). Nantinya, RUU PDP yang sedang dibahas di DPR akan mengatur kebijakan lebih detail disamping definisi data dan hak pemilik data pribadi. Beberapa pengaturan tersebut yakni penegasan kewajiban dan tanggung jawab data controller dan data processor, pembentukan pejabat Data Protection Officer (DPO), sanksi administrasi hingga sanksi pidana.

Plt. Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Teguh Arifiyadi menjelaskanRUU PDP yang kini tengah dalam tahap finalisasi antara Pemerintah dan DPR diharapkan dapat meningkatkan tata kelola sistem elektronik di Indonesia. (Baca: BI Kena Serangan Siber, Perlindungan Data Startegis Negara Harus Ditingkatkan)

“Secara bersamaan, berbagai instrumen kebijakan dalam RUU PDP kami susun aturan implementasinya agar efektif dalam mengurangi insiden keamanan siber dan kebocoran data pribadi. Dalam prosesnya, Kominfo berkomitmen untuk menerapkan transparansi dalam sanksi administrasi berupa denda akibat data breach. Aturan denda atas pelanggaran prinsip PDP yang sedang kami susun ini diharapkan menjadi instrumen kebijakan yang ideal untuk pengendalian PDP di Indonesia,” jelas Teguh, Kamis (27/1).

Dalam pembahasan aturan implementasi terbaru, pelanggaran atas pemenuhan kewajiban perusahaan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip PDP akan dikenai sanksi administratif. Berdasarkan PP 71/2019, terdapat beberapa prinsip dalam hal pengumpulan dan pemrosesan data pribadi, yakni dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, adil, dengan sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik Data Pribadi;

Kemudian dilakukan sesuai dengan tujuannya; dilakukan dengan menjamin hak pemilik Data Pribadi; Dilakukan secara akurat, lengkap, tidak menyesatkan, mutakhir, dapat dipertanggungjawabkan, dan memperhatikan tujuan pemrosesan Data Pribadi; dilakukan dengan melindungi keamanan Data Pribadi dari kehilangan, penyalahgunaan, Akses, dan pengungkapan yang tidak sah, serta pengubahan atau perusakan Data Pribadi; dilakukan dengan memberitahukan tujuan pengumpulan, aktivitas pemrosesan, dan kegagalan perlindungan Data Pribadi; Dimusnahkan dan/atau dihapus kecuali masih dalam masa retensi sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, Founder and Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menjelaskan pihaknya melihat RUU PDP menjadi salah satu jawaban dari sisi kebijakan untuk mencegah munculnya berbagai kasus kebocoran data yang terjadi baik pada lembaga pemerintah, BUMN, hingga swasta. Hal ini karena dunia usaha membutuhkan assurance atas pengelolaan data pribadi yang dilakukan.

“Dari benchmark berbagai kebijakan terkait perlindungan data pribadi di berbagai negara, sanksi administratif berupa denda yang tengah dirumuskan Kominfo ketika terjadi serangan kebocoran data kami yakini dapat mewujudkan manajemen risiko yang lebih terukur secara legal maupun keuangan bagi manajemen dunia usaha. Aturan ini melengkapi kehadiran Penyelenggara Sertifikat Elektronik yang selama ini telah menjamin identitas digital masyarakat di berbagai industri,” jelas Ardi.

Co-Founder dan CEO VIDA, Sati Rasuanto menjelaskan korporasi dapat berperan dan bertanggung jawab membantu menciptakan ekosistem digital yang aman di Indonesia. Lewat teknologi dan standar yang dimiliki, Santi menjelaskan pihaknya menjamin keamanan data pribadi konsumen dalam layanan proses verifikasi identitas online yang kami tawarkan pada klien-klien, yang lazimnya dibutuhkan saat proses onboarding ke platform digital maupun dalam tanda tangan elektronik.

“Mengingat misi ini membutuhkan dukungan dari semua pihak, kami melihat urgensi penerapan aturan perlindungan data pribadi, RUU PDP, demi mengurangi resiko penyalahgunaan identitas lebih jauh dan melindungi identitas digital masyarakat,” jelas Sati, Kamis (27/1).

Sati menjelaskan bahwa sebagai Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE), VIDA memiliki beberapa prinsip dalam menjamin identitas digital yang sejalan dengan RUU PDP. “Dengan prinsip-prinsip identitas digital yang dibawa oleh VIDA diantaranya yakni secure, consent dan transparent, pengguna layanan verifikasi identitas dan tanda tangan elektronik VIDA lebih mudah mengontrol informasi krusial yang mereka miliki. Berbekal sertifikat elektronik VIDA, keputusan otentikasi layanan digital atau proses tanda tangan elektronik ada pada pengguna sepenuhnya. VIDA menjaga data pribadi pengguna dan digunakan hanya untuk keperluan pengguna, dengan menerapkan enkripsi end-to-end bagi seluruh transmisi data.”

Sebagai PSrE berinduk di bawah Kominfo, VIDA memiliki pembuktian hukum tertinggi dalam hal tanda tangan elektronik (TTE). VIDA juga merupakan PSrE pertama di Indonesia yang memperoleh akreditasi WebTrust global untuk penerapan standar keamanan internet, dan menerapkan biometrik wajah dan liveness detection dalam verifikasi dan autentikasi yang mudah dan nyaman bagi pengguna.

Tanda Tangan Elektronik VIDA juga diakui di lebih dari 40 negara, karena VIDA adalah PSrE pertama dari Indonesia yang masuk dalam Adobe Approved Trust List (AATL) atau daftar rekan terpercaya Adobe. Dalam memberikan layanan verifikasi identitas online, VIDA juga tercatat sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) Klaster e-KYC terdaftar di OJK maupun regulatory sandbox di OJK.

“Meskipun kepatuhan terhadap regulasi baik dalam negeri maupun best practice perlindungan data pribadi global dapat mengurangi resiko penyalahgunaan identitas, VIDA meyakini prinsip beyond compliance. Berarti dalam hal perlindungan data pribadi, kami akan go extra mile. Prinsip tersebut salah satunya kami wujudkan lewat edukasi masyarakat yang menyeluruh untuk memahami dan melindungi data pribadi dan hak atas privasi pada era digital ini. Kami berharap dengan awareness masyarakat yang meningkat terhadap data pribadi, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri digital di Indonesia,” tutup Sati.

Tags:

Berita Terkait