Perlunya Ruang Aman di Lingkungan Kampus Cegah Tindakan Kekerasan Seksual
Terbaru

Perlunya Ruang Aman di Lingkungan Kampus Cegah Tindakan Kekerasan Seksual

Permendikbud No.30 Tahun 2021 sedikit demi sedikit membuat lembaga di lingkungan perguruan tinggi menyadari betapa perlunya perlindungan korban kekerasan seksual.

CR-27
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Dalam Pasal 5 ayat 2 Ketetapan MPR No.XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan kepada-Nya.

Dalam rangka Hari Hak Asasi Manusia yang jatuh pada Jumat (10/12), hukumonline membuka kanal diskusi secara daring membahas mengenai perlindungan korban kekerasan seksual terkait dengan Permendikbud No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Beberapa waktu ke belakang, tengah ramai kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dan juga pada masyarakat umum. Banyaknya perhatian publik terhadap kasus kekerasan seksual ini berfokus kepada trauma para korban kekerasan seksual. Adanya Permendikbud No.30 Tahun 2021 menimbulkan pro dan kontra di media sosial terkait dengan consent atau persetujuan.

Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bali, Ni Wayan Sukasih, mengungkapkan tidak adanya kekeliruan terhadap Permendikbud tersebut. “Kami tidak melihat adanya kesalahan dari Permendikbud ini. Segala bentuk kekerasan seksual itu dikecam,” ungkapnya. (Baca: Meninjau Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual)

Ia melanjutkan dengan adanya Permendikbud ini sedikit demi sedikit membuat lembaga di lingkungan perguruan tinggi menyadari betapa perlunya perlindungan korban kekerasan seksual. “Saat ini di Bali, implementasi permendikbud ini sudah terlihat. Kampus Udayana telah mengawal Permendikbud ini sehingga hal ini paling tidak bisa mencegah dan mengurangi pelecehan seksual yang ada di lingkungan kampus,” katanya.

Sukasih mencontohkan, saat ini Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Udayana telah mengeluarkan Surat edaran dekan mengenai pencegahan kekerasan seksual di lingkungan FEB Universitas Udayana. Surat edaran ini diterbitkan pada 1 Desember 2021 yang lalu.

Surat edaran tersebut menjelaskan mengenai pencegahan yang harus dilakukan dosen, akademisi dan mahasiswa. Jika adanya kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa, dosen, akademisi serta pegawai kampus maka bisa melaporkan serta mendapat penanganan serta pendampingan dan perlindungan untuk pemulihan.

Surat edaran tersebut juga menjelaskan bagaimana mekanisme penanganan yang harus dilakukan. Mulai dari cara melaporkan, ketentuan bukti serta saksi untuk menguatkan laporan. “Dari pergerakan kecil ini kita sudah melihat implementasi langsung dari Permendikbud,” kata Sukasih.

Menurutnya, hadirnya Permendikbud No.30 Tahun 2021 turut menjadi angin segar bagi UPTD PPPA Bali yang selama ini menangani kasus kekerasan seksual. Dengan hadirnya Permendikbud ini, korban-korban di lingkungan kampus yang belum terakses atau belum berani berbicara, bisa memicu korban lainnya untuk bisa membuka diri dan menyampaikan apa yang dialaminya.

UPTD PPPA Bali saat ini sudah terakomodir langsung dengan Permendikbud ini sehingga seluruh layanan aduan, pendampingan korban hingga pendampingan menuju persidangan telah sesuai dengan Permendikbud. Layanan psikis untuk korban serta penguatan pasca trauma juga menjadi layanan yang diberikan oleh UPTD PPPA Bali.

Korban kekerasan seksual tidak hanya dibantu kasus pidananya, namun yang paling penting adalah konseling lanjutan atau terapi pasca trauma yang dialami korban. Untuk meminimalisir dampak psikis korban kekerasan seksual, peran masyarakat juga dibutuhkan untuk membantu proses penyembuhan korban kekerasan seksual.

Korban kekerasan seksual ini menjadi stigma di masyarakat, untuk tidak memperpanjang pasca trauma korban maka kerjasama dari seluruh pihak diperlukan. Selama ini kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus sukar untuk diungkap, hal ini tidak lain karena relasi dan kuasa yang besar di lingkungan kampus.

Perlu adanya satgas untuk mensosialisasikan Permendikbud ini dilakukan di lingkungan kampus. Direktur LBH Bali, Ni Kadek Vany Primaliraning, mengungkapkan putusan RUU PKS yang disahkan sedikit mengecewakan. Permendikbud ini menjadi angin segar bagi korban kekerasan seksual.

“Permendikbud ini meski yang diatur hanya perlindungan kekerasan seksual di lingkungan kampus, namun telah dibahas begitu komprehensif. Mulai dari pencegahan, penanganan hingga pemulihan yang dialami korban kekerasan seksual,” katanya.

LBH Bali juga telah mendorong SOP tentang kekerasan di institusi pendidikan. Urgensi dari kekerasan seksual di kampus ini harus dipandang penting. Dengan adanya Permendikbud ini memberikan paksaan kepada perguruan tinggi untuk menyadari pentingnya perlindungan korban kekerasan seksual dan tidak memberi ruang terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Menurut Vany, perguruan tinggi yang mendiskriminasi korban seringkali membuat korban tidak melanjutkan aduan. Hal ini membuat LBH Bali akan melakukan advokasi ke perguruan tinggi bersangkutan dan melindungi hak korban. “Jika kampus melakukan intimidasi kepada korban, LBH Bali akan langsung menuntut advokasi ke tingkat kementerian. Ini menjadi peluang strategi baru untuk memperjuangan hak korban,” ujarnya.

“Permendikbud ini mengatur kekerasan seksual secara komprehensif. Sebelumnya, aturan mengenai kekerasan seksual ini sangat lemah, sehingga para pelaku hanya ditindak dengan UU ITE, pelaku tidak dihukum berdasarkan dengan kejahatannya tapi malah dihukum dengan tuduhan pasal lain,” sambungnya.

Untuk menciptakan keamanan bagi dosen, mahasiswa dan akademisi di lingkungan kampus, perlu ada ruang aman di perguruan tinggi. Ruang aman ini tidak hanya ada di lingkungan kampus, namun juga di seluruh lini aktivitas kampus. “Berbicara mengenai ruang aman. Hal ini tidak hanya mahasiswa, namun dosen, karyawan pedagang di lingkungan kampus itu masuk ke dalam lingkungan kampus dan harus terinternalisasi,” lanjut Vany.

Dia mengatakan Kuliah Kerja Nyata (KKN), tugas kelompok kampus, diskusi kampus, meski tidak dilakukan di kampus, itu semua masih berkaitan dengan urusan kampus. Hal ini harus jadi perhatian lebih. “Jadi Permendikbud ini benar-benar bisa menjangkau keamanan bagi penghuni perguruan tinggi entah itu di dalam lingkungan kampus atau di luar lingkungan kampus,” katanya.

Sosialisasi tentang kekerasan seksual ini seharusnya sudah jelas di tingkat Rektor, Dekan, akademisi, mahasiswa dan seluruh warga kampus tentang bagaimana nilai-nilai penghargaan perempuan, nilai kekerasan seksual, bagaimana cara mendapat perlindungan, pencegahan serta pertolongan terhadap korban kekerasan seksual.

“Keadilan korban harus menjadi prioritas utama dari kekerasan seksual ini, baik keadilan di sisi hukum dan juga di sisi psikis. Korban kekerasan seksual harus mendapat dukungan sosial dari semua komponen elemen masyarakat. Jangan sampai Permendikbud ini sekadar formalitas dalam merespons kejahatan seksual,” tutup UPTD PPPA Bali, Ni Luh Sukawati, di acara yang sama.

Tags:

Berita Terkait