Perppu Pertambangan Dibuat Demi Kepastian Hukum bagi Investor
Berita

Perppu Pertambangan Dibuat Demi Kepastian Hukum bagi Investor

Upaya pemerintah mencabut larangan membuka usaha tambang di hutan lindung sebagaimana tercantum pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum sekaligus memenuhi ketentuan pasal 1338 KUHPerdata.

Mys
Bacaan 2 Menit
Perppu Pertambangan Dibuat Demi Kepastian Hukum bagi Investor
Hukumonline

 

Adanya UU No. 19 Tahun 2004, menurut Aburizal, bisa diartikan bahwa Pemerintah Indonesia telah memberikan kepastian hukum bagi pengusahaan sumber daya alam, khususnya bahan galian mineral dan batubara.

 

Pandangan DPR dan Menko Perekonomian itu disampaikan sebagai jawaban atas permohonan pengujian Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 yang diajukan oleh Tim Advokasi Penyelamatan Hutan Lindung (TAPHL).

 

Untuk merespon judicial review Undang-Undang tersebut, pemerintah tampaknya tidak main-main. Presiden SBY langsung menunjuk lima orang menteri untuk mewakili Pemerintah di persidangan hari ini (23/3). Selain Aburizal Bakrie, ada Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro.

 

Dalam permohonannya, TAPHL berpendapat bahwa kehadiran Perpu Pertambangan dan UU No. 19/2004 justeru menimbulkan ketidakpastian hukum. Larangan membuka usaha tambang terbuka di kawasan hutan lindung sudah jelas tercantum dalam UU Kehutanan 1999. Namun dalam perjalananya, Pemerintah Indonesia terus menyiasati larangan itu. Antara lain dengan menerbitkan Perppu Pertambangan di saat DPR masih reses. Perppu itu kemudian diikuti dengan Keppres No. 41 Tahun 2004 yang memberi izin pertambangan kepada 13 perusahaan tambang. 

Untuk memberi kepastian hukum bagi para investor di bidang pertambangan, Pemerintah merasa perlu mengamandemen larangan membuka usaha pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2004 –sering disebut juga sebagai Perppu Pertambangan --yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2004 terkait dengan kekosongan hukum.

 

Dewan Perwakilan Rakyat, melalui kuasa khususnya Herman Widyananda, berpendapat bahwa peraturan lama yakni UU No. 41 tahun 1999 tidak mengatur tentang kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang ada sebelum berlakunya undang-undang tersebut. Bagian aturan peralihan pun belum memproteksi komitmen Pemerintah dengan para investor pertambangan.

 

Ketiadaan ketentuan tersebut telah mengakibatkan status izin atau kontrak karya pertambangan (KKP) pra-1999 menjadi tidak jelas. Bahkan bisa diartikan tidak berlaku lagi. DPR berpendapat larangan menambang secara terbuka di kawasan hutan lindung yang tercantum pada pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan 1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan.

 

Menurut DPR, sebagai negara hukum, Indonesia harus menghormati kontrak karya pertambangan yang sudah dibuat sebelum UU Kehutanan 1999 disahkan. Kontrak karya itu merupakan perjanjian yang harus dipatuhi, sebagaimana amanat pasal 1338 KUHPerdata. Jika Pemerintah tidak melakukan sesuatu, bisa jadi akan dituduh wanprestasi. Itu sebabnya, mayoritas anggota DPR menyetujui perubahan Perppu No. 1 Tahun 2004 menjadi undang-undang.

 

Pandangan senada dikemukakan Aburizal Bakrie. Menko Perekonomian itu mengatakan bahwa ketidakpastian hukum dalam berinvestasi membuat posisi pemerintah sulit. Di satu sisi pemerintah sudah menandatangani kontrak karya pertambangan; di sisi lain ada hambatan yuridis untuk melakukan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung.

Halaman Selanjutnya:
Tags: