Apakah sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) benar-benar terpadu dalam satu garis penegakan hukum, dalam arti hanya penyidik atau PPNS yang berwenang menyidik tindak pidana dan jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum? Jika hanya sekadar membaca KUHAP, jawaban normatifnya mungkin ya. Sebaliknya, apabila ditanyakan apakah penuntut umum benar-benar menjalankan fungsinya memeriksa penyidikan polisi secara objektif, jawabannya mungkin menimbulkan perdebatan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Fachrizal Afandi telah menyusun sebuah kerangka analisis sistem peradilan pidana di Indonesia dan dipresentasikan dalam beberapa kesempatan yang diikuti Hukumonline.
Menurut Fachrizal, ada dua orientasi sistem peradilan pidana, terutama dalam masa pandemi Covid-19, yang sama-sama penting dan harus dijalankan tanpa menegasikan satu sama lain. Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban. Apabila angka kriminalitas meningkat, maka semakin terasa kebutuhan untuk menjamin keamanan publik dari ancaman kejahatan. Kedua, ada kebutuhan untuk menjamin berjalannya prinsip negara hukum.
Masalahnya, sistem peradilan pidana terpadu tidak hanya ditentukan oleh satu aktor. Juga bukan hanya melibatkan polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Fachrizal menunjukkan tantangan pada ‘keterpaduan’ sistem peradilan pidana: bagaimana menjelaskan kewenangan penyidikan TNI AL dalam hal terjadi tindak pidana di laut?
