Plus-Minus Metode Penyusunan Omnibus Law di Mata Akademisi
Utama

Plus-Minus Metode Penyusunan Omnibus Law di Mata Akademisi

Meski memiliki sejumlah manfaaat/kelebihan, tetapi penyusunan metode omnibus law potensial merusak sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Sementara omnibus law terdapat empat kelemahan. Pertama, RUU dengan metode omnibus law cenderung pragmatis dan kurang demokratis. Kedua, membatasi ruang publik dalam memberi aspirasi dan masukan dari masyarakat. Ketiga, kurang ketelitian dan kehati-hatian dalam perumusan setiap norma pasalnya karena UU yang terdampak yang akan direvisi cukup banyak.

 

“Misalnya, menghidupkan pasal yang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK); bagaimana bisa Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengganti norma UU. Itu kan bentuk ketidaktelitian dan kehati-hatian dan ketidakcermatan,” kata dia memberi contoh. 

 

Keempat, potensi berkurangnya perhatian terhadap konstitusi dan putusan MK. Menurutnya, terdapat banyak putusan MK yang tidak dijadikan dasar penyusunan norma dalam RUU Cipta Kerja. “Akhirnya (pasal-pasalnya, red) malah bertentangan dengan konstitusi. Orang bilang cacat bawaan RUU Cipta Kerja ini dan selalu dibawa. Mau tidak mau itu konsekuensi yang diterima kalau menggunakan metode omnibus law.”

 

Sementara beberapa tantangan penyusunan peraturan dengan metode omnibus law. Pertama, permasalahan peraturan perundang-undangan tak hanya teknis penyusunan RUU, tetapi juga bisa menjadi cara mengatasi persoalan over regulasi. Kedua, setiap UU memiliki landasan filosofis yang mengacu pada konstitusi. Problemnya, ketika mengubah sejumlah pasal otomatis mengubah landasan filosofinya dalam konstitusi, seperti Pasal 33 UUD 1945 menjadi landasan filosofi tak diubah.

 

Ketiga, prinsip supremasi konstitusi membatasi kewenangan pembentuk UU dimana aturan baku tak boleh ditabrak. Keempat, ketidakpastian hukum akibat dominasi kepentingan egosektoral. Kelima, belum adanya parameter kapan penyusunan RUU menggunakan metode omnibus law atau sebaliknya. "Seolah latah ingin menggunakan omnibus law di semua RUU."

 

Keenam, partisipasi publik. Ada penyusunan RUU masih minim partisipasi publik. Seperti Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang cenderung tak membuka ruang bagi publik untuk memberi masukan. “Tiba-tiba kita ditawarkan dengan omnibus law. Tantangannya bagaimana aspirasi publik bisa diakomodir dalam penyusunan omnibus law,” katanya.

 

Merusak sistem

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitriani A. Sjarief menilai penyusunan RUU Cipta Kerja hanya mengkompilasi sejumlah pasal di 79 UU yang terdampak. “Seolah mengambil benang merah untuk satu tujuan (peningkatan investasi demi pertumbuhan ekonomi, red). Sayangnya, metode omnibus law RUU Cipta Kerja ini cenderung prosesnya tertutup sejak awal di pemerintah,” kata Fitriani.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait