Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004
Kolom

Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004

PKPU seringkali bergeser dari tujuan awalnya yaitu melindungi kepentingan Debitor dan Kreditor,

Bacaan 2 Menit

Lebih lanjut Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU berbunyi sebagai berikut:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya

Pertanyaan berikut yang masuk ke benak kita tentunya adalah, apakah ketentuan Pasal 8 ayat (4) Jo Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU juga berlaku terhadap permohonan PKPU?

Dalam Bab III PKPU memang terdapat pasal yang menegaskan bahwa ketentuan Bab II Kepailitan juga berlaku terhadap ketentuan PKPU diantaranya pada Pasal 245 tentang pembayaran piutang masing-masing kreditor yang harus tunduk pada Pasal 185 ayat (3), Pasal 246 yang menyatakan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), Pasal 248 ayat (3) yang menyatakan Pasal 53 dan Pasal 54 berlaku bagi perjumpaan utang pada PKPU, Pasal 256 yang menyatakan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 berlaku mutatis mutandis terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran PKPU, dan namun tidak terdapat ketentuan perihal pembuktian utang sederhana dalam kepailitan pada Pasal 8 ayat (4) jo Pasal 2 ayat (1) juga berlaku terhadap PKPU.

Polemik Pasal 225
Penggunaan frasa “harus mengabulkan” pada ketentuan pasal 225 UU KPKPU menimbulkan polemik ketika PKPU digunakan oleh Debitor atau Kreditor untuk mengambil kesempatan secara “licik” untuk mengambil keuntungan pihak tertentu, baik Debitor, Kreditor atau oknum Pengurus yang ditunjuk melakukan pengurusan terhadap Debitor dalam PKPU.

Dari sisi Debitor, PKPU dapat digunakan sebagai “alat” untuk menghapus dan atau mengurangi kewajiban utangnya secara licik dengan melakukan kerjasama dengan oknum Kreditornya. Dari sisi Kreditor, PKPU dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk menjatuhkan kredibilitas dan nama baik Debitor. Apalagi jika niat Kreditor tersebut mengajukan PKPU dengan tujuan memailitkan Debitor pada akhirnya, dikarenakan Permohonan PKPU harus dikabulkan berdasarkan ketentuan Pasal 225 UU KPKPU.

Polemik lanjutan terhadap keadaan tersebut bertambah dengan tidak dapat diajukannya upaya hukum atas Putusan PKPU sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 235 (1) UU KPKPU:
“Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.”

Penulis tidak memahami maksud pembuat UU KPKPU memasukkan frasa “harus mengabulkan” dalam Bab III UU KPKPU. Apakah karena pembuat undang-undang melihat tujuan PKPU adalah murni untuk melindungi kepentingan Debitor dan Kreditor, sehingga urgensi PKPU harus dikabulkan? Namun dalam praktiknya, penggunaan frasa ini sering digunakan untuk hal-hal di luar konteks perlindungan Debitor atau Kreditor, melainkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, Kreditor yang memiliki hak tagih kepada Debitor sering menggunakan skema PKPU untuk memaksa Debitor melakukan pembayarannya kepada Kreditor tersebut.

Tags: