Kementerian Ketenagakerjaan Siap Fasilitasi Polemik Revisi UMP Jakarta
Terbaru

Kementerian Ketenagakerjaan Siap Fasilitasi Polemik Revisi UMP Jakarta

Kementerian Ketenagakerjaan telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan kebijakan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat menemui massa buruh di depan Balai Kota, yang keberatan penetapan UMP hanya naik Rp 37.749 atau sekitar 0,8 persen, Senin (29/11/2021) lalu. Foto: RES
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat menemui massa buruh di depan Balai Kota, yang keberatan penetapan UMP hanya naik Rp 37.749 atau sekitar 0,8 persen, Senin (29/11/2021) lalu. Foto: RES

Polemik revisi upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2022 oleh Gubernur Jakarta Anies Rasyid Baswedan mendapat respon dari Kementerian Ketenagakerjaan. Kepala Biro Humas Kemnaker, Chairul Fadhly Harahap, mengatakan penetapan upah minimum tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku akan menimbulkan polemik di masyarakat. Dia menyebut salah satunya seperti yang terjadi di DKI Jakarta.

Sebagaimana diketahui upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta 2022 direvisi dari Rp4.453.953 menjadi Rp4.641.854 atau naik Rp225.667 (5,1 persen) dibanding UMP tahun 2021. Chairul mengatakan pihaknya siap melakukan mediasi terhadap para pihak yang berselisih terkait penetapan UMP Jakarta tahun 2022. Dia juga menyebut telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan kebijakan.

"Kementerian Ketenagakerjaan siap hadir untuk memfasilitasi jika ada perbedaan pandangan termasuk kenaikan upah minimum di DKI, karena unsur pembinaannya yang kita kedepankan," kata Chairul dalam keterangan tertulis, Selasa (21/12/2021). (Baca Juga: Dua Alasan Revisi UMP DKI Jakarta Sudah Sesuai)

Chairul mengingatkan PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai landasan hukum penetapan upah minimum di seluruh daerah. Dia berharap pemerintah mengikuti ketentuan yang berlaku dalam menetapkan upah minimum baik kabupaten/kota dan provinsi.

Sebelumnya, Ketua DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mencatat rencana Gubernur Jakarta merevisi UMP 2022 melanggar sedikitnya 3 pasal dalam PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Pertama, melanggar pasal 26 yang mengatur formula penetapan upah minimum. Hariyadi menyebut revisi UMP yang dilakukan Gubernur tidak mengikuti formula tersebut.

Kedua, pasal 27, mengamanatkan penyesuaian UMP dilakukan sesuai tahapan perhitungan sebagaimana formula yang diatur pasal 26. Jika UMP tahun berjalan lebih tinggi dari batas atas UMP maka Gubernur wajib menetapkan UMP tahun berikutnya sama dengan UMP tahun berjalan atau tidak naik.

Ketiga, pasal 29, yang mengatur penetapan UMP dilakukan dengan Keputusan Gubernur dan diumumkan paling lambat 21 November tahun berjalan. Menurut Hariyadi revisi UMP Jakarta tahun 2022 dilakukan secara sepihak oleh Gubernur Jakarta. Revisi itu membuat tujuan upah minimum sebagai jaring pengaman akan sulit dilaksanakan. Pengusaha menggunakan jaring pengaman itu sebagai acuan dalam membuat struktur dan skala upah.

Jika upah minimum dijadikan sebagai upah rata-rata Hariyadi menyebut pengusaha sulit menerapkan struktur dan skala upah karena ruang untuk menaikan upah di atas upah minimum menjadi kecil atau bahkan tidak ada. Hal ini akan menimbulkan risiko bagi pencari kerja baru karena pengusaha akan lebih memilih pekerja/buruh yang lebih pengalaman.

“Kami minta Menteri Ketenagakerjaan memberikan sanksi kepada kepala daerah yang tidak patuh hukum ketenagakerjaan. Kementerian Dalam Negeri perlu melakukan pembinaan dan memberikan sanksi kepada kepala daerah yang tidak patuh aturan,” kata Hariyadi.

Hariyadi mengatakan pihaknya akan menunggu terbitnya Keputusan Gubernur yang merevisi UMP Jakarta 2022. Setelah keputusn itu terbit Apindo DKI Jakarta akan mengkoordinasi proses gugatannya ke PTUN. Selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pengusaha di Jakarta diimbau untuk tidak melaksanakan UMP hasil revisi.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai keputusan Gubernur DKI Jakarta merevisi UMP sudah tepat dan menjadi titik kompromi. Dia menyebut sedikitnya ada 2 alasan kebijakan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pertama, Pasal 88C ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana disisipkan dalam melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mewajibkan Gubernur untuk menetapkan UMP.

Menurut Timboel, ketentuan Pasal 88C ayat (1) itu memberikan kewenangan penuh kepada Gubernur untuk menetapkan UMP. “Dengan kewenangan itu Gubernur DKI Jakarta dapat merevisi keputusan penetapan UMP 2022 yang sebelumnya 0,85 persen menjadi 5,1 persen,” kata Timboel Siregar ketika dihubungi, Selasa (21/12/2021). (Baca Juga: Revisi UMP, Gubernur DKI Jakarta Dinilai Langgar 3 Pasal PP Pengupahan)

Kedua, Pasal 26 ayat (2) PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur penyesuaian upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan. Mengacu data BPS, Timboel mencatat rata-rata konsumsi per kapita Jakarta Rp2.336.429; rata-rata jumlah anggota keluarga 3,43 orang; dan rata-rata jumlah anggota keluarga yang bekerja di Jakarta sebanyak 1,44 orang. Dari variabel tersebut nilai batas atas UMP Jakarta sebesar Rp5.565.244 dan batas bawah Rp2.782.622.

Atas dasar itu, Timboel berpendapat revisi kenaikan UMP DKI Jakarta menjadi 5,1 persen masih dalam rentang batas atas dan batas bawah sebagaimana dimandatkan dalam PP Pengupahan. “Ini artinya, tidak ada yang salah dengan revisi tersebut, dan Gubernur Jakarta sudah menetapkan nilai UMP 2022 sesuai dengan UU Cipta Kerja dan PP No.36 Tahun 2021,” dalihnya.

Tags:

Berita Terkait