Potensi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, Koalisi Uraikan 6 Catatan Revisi UU TNI
Terbaru

Potensi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, Koalisi Uraikan 6 Catatan Revisi UU TNI

Seperti perluasan fungsi TNI tak hanya sebagai alat pertahanan negara tapi juga keamanan negara. TNI berpotensi digunakan untuk menghadapi masyarakat yang dianggap sebagai ancaman negara.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU 34/2004 menurut Gufron sangat berbahaya. Hal itu akan menyebabkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Ketiga, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Gufron berpendapat usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat (3) yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara. Misalnya penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis. Bahkan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.

Lebih dari itu, upaya perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP juga dipermudah. Mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR. Jika usulan perubahan ini diadopsi, Gufron mengingatkan ini berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamamd Isnur melanjutkan catatan selanjutnya. Keempat, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Gufron mencatat ada usul perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas.

Ketentuan yang tercantum dalam draf RUU Pasal 47 poin 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi. Hal ini menunjukkan kemunduran, di mana sejak 1998 posisi TNI dikembalikan sebagaimana mestinya yakni sebagai alat pertahanan negara. Penempatan militer di luar fungsi sebagai alat pertahanan negara akan memperlemah profesionalisme militer.

Kelima, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Meunurut Gufron perubahan Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI. Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004.

Keenam, perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Gufron melihat rencana revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 34/2004 dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari ‘anggaran pertahanan negara’ yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi ‘TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan  Belanja Negara’.

“Perubahan tersebut menunjukan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan. Hak ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan,” ujarnya.

Kewenangan Menteri Pertahanan dalam penyusunan anggaran juga dilangkahi. Terlihat dari perubahan klausul Pasal 67 yang sebelumnya menyatakan bahwa dalam hal pemenuhan anggaran TNI, Panglima TNI mengajukan kepada Menteri Pertahanan kemudian diubah menjadi mengajukan kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai APBN. Dengan adanya perubahan tersebut, Mennhan tidak hanya sekedar dilangkahi kewenangannya, tapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah.

Berdasarkan berbagai hal tersebut koalisi mendesak pemerintah untuk menghentikan agenda revisi UU 34/2004. Selain tidak urgen, usulan perubahan sangat berbahaya bagi demokrasi, negara hukum, dan pemajuan HAM. Pemerintah lebih baik fokus pada penyelesaaian pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI.

Tags:

Berita Terkait