PPATK Dorong Pembahasan Dua RUU Ini, Begini Respons DPR
Berita

PPATK Dorong Pembahasan Dua RUU Ini, Begini Respons DPR

PPATK meyakini kedua RUU tersebut bisa mengoptimalkan pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan, cukai, dan motif tindak pidana ekonomi lain. Komisi III DPR mendukung Kepala PPATK untuk berkoordinasi dengan Kemenkumham agar dapat segera memprioritaskan pembahasan kedua RUU tersebut.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Menurut dia, langkah koordinasi itu dalam rangka mendukung pengungkapan kasus dan mengembalikan aset negara dari berbagai kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan tindak pidana lainnya yang merugikan kesejahteraan masyarakat atau mempengaruhi perekonomian negara di tengah pandemi Covid-19. Adies mengatakan Komisi III DPR mendukung rencana kerja PPATK tahun 2021 untuk meningkatkan program pencegahan TPPU dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).

"Komisi III DPR juga mendukung PPATK meningkatkan kapasitas kegiatan pengawasan dan pendeteksian transaksi keuangan yang mencurigakan untuk optimalisasi penerimaan negara dan perwujudan stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan."

Dia mengingatkan Komisi III DPR mendesak Kepala PPATK untuk lebih berhati-hati dalam penyampaian keterangan atau informasi publik terutama terkait hasil analisis dan atau hasil pemeriksaan serta pelaksanaan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi PPATK. Hal itu, menurut dia, agar lebih memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kepentingan proses penegakan hukum dan peradilan, kecuali untuk edukasi terhadap publik.

"Komisi III DPR mendesak Kepala PPATK untuk meningkatkan efektivitas kerja sama dan koordinasi dengan berbagai lembaga, khususnya aparat penegak hukum," tambahnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menyayangkan RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana tidak masuk daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang telah ditetapkan DPR. Padahal, RUU Perampasan Aset ini menjadi suplemen penting untuk menunjang aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

"Nantinya, jika RUU Perampasan Aset ini disahkan, penegak hukum tidak kesulitan lagi jika menghadapi pelaku korupsi yang melarikan diri karena objek pemeriksaan di persidangan adalah aset itu sendiri, bukan individu pelaku," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (24/3/2021).

Kurnia mengakui ICW tidak kaget melihat daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang tidak kunjung memasukkan RUU Perampasan Aset karena sejak awal pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) memang hanya memprioritaskan waktu dan tenaganya untuk membahas regulasi-regulasi yang kontroversial dan melemahkan pemberantasan korupsi seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja.

"Hal itu berakibat merosotnya poin dan peringkat Indonesia dalam indeks persepsi korupsi yang beberapa waktu lalu disampaikan oleh Transparency International Indonesia," kata Kurnia.

Padahal, bila RUU Perampasan Aset disahkan, metode pembuktian kejahatan korupsi dapat lebih sederhana. "Tidak lagi menganut model hukum pidana, tetapi berpindah pada ranah perdata. Terlebih lagi, langkah hukum penyitaan tidak harus memikirkan kesalahan pelaku," kata Kurnia.

Akan tetapi, sepanjang penegak hukum meyakini aset itu tercemar akibat praktik korupsi, seketika dapat disita dan disidangkan. Kemudian dapat dirampas oleh negara. Menurut Kurnia, data ICW pada pemantauan persidangan perkara korupsi selama 2020 membuktikan bahwa mengedepankan pendekatan hukum pidana tidak menyelesaikan persoalan pemulihan kerugian keuangan negara.

Menurut dia, selain prosesnya panjang, menurut dia, pembuktiannya sulit. Ditambah lagi putusan hakim juga tidak kunjung mengakomodasi pengenaan pidana tambahan uang pengganti yang maksimal. "Jika terus-menerus seperti ini, dalam konteks ekonomi, Indonesia akan selalu rugi dalam menangani perkara korupsi.” (ANT)

Tags:

Berita Terkait