Pro Kontra Sita Jaminan untuk Perkara Korupsi
Berita

Pro Kontra Sita Jaminan untuk Perkara Korupsi

Sebaiknya konsep sita jaminan untuk perkara korupsi dimasukan dalam RKUHAP.

NOV
Bacaan 2 Menit
Luhut Pangaribuan (kiri) dan Todung Mulya Lubis (kanan). Foto: SGP
Luhut Pangaribuan (kiri) dan Todung Mulya Lubis (kanan). Foto: SGP

Rencana MA memasukkan konsep sita jaminan (conservatoir beslag) dalam sistem penanganan perkara tindak pidana korupsi menuai beragam tanggapan dari kalangan praktisi hukum. Ada yang mendukung, ada pula yang bersikap sebaliknya.

Todung Mulya Lubis misalnya. Pendiri kantor hukum Lubis, Santosa, Maramis ini mendukung gagasan MA tersebut. Menurut dia, penerapan sita jaminan dalam perkara korupsi diperlukan untuk mencegah hilangnya aset terdakwa/terpidana korupsi.

“Dalam kasus korupsi, pemidanaan adalah untuk menghukum perbuatan korupsi, mengganti kerugian negara, memiskinkan koruptor. Saya setuju dengan MA, soalnya koruptor sangat pintar menghilangkan asetnya,” katanya kepada hukumonline, Rabu (10/7).

Turut menyatakan dukungannya advokat senior Luhut MP Pangaribuan berpendapat penerapan sita jaminan dalam perkara korupsi sebaiknya tidak diatur dalam bentuk Peraturan MA. Lebih tepat, kata dia, undang-undang. Spesifik, Luhut konsep sita jaminan dalam perkara korupsi diatur dalam KUHAP yang kebetulan saat ini rancangan revisinya sedang digodok di DPR.

Sementara, Maqdir Ismail tidak sepakat apabila sita jaminan yang biasa berlaku di perdata diterapkan dalam perkara korupsi. Menurut dia, penyitaan terhadap harta yang tidak berkaitan dengan korupsi merupakan pelanggaran hukum dan HAM. Ditegaskan Maqdir, seseorang tidak boleh dihukum melebihi kejahatan yang dilakukannya.

Merujuk pada kesepakatan Kamar Pidana MA beberapa waktu lalu, penerapan sita jaminan memang memungkinkan harta benda yang diperoleh secara sah pun dapat disita sejak tahap penyidikan. MA memasukkan konsep itu untuk mencegah pengalihan aset dan ‘memaksa’ terpidana korupsi membayar uang pengganti. Pasalnya, seringkali terpidana lebih memilih menjalani pidana subsidair ketimbang membayar uang pengganti dengan alasan tidak memiliki aset.

Maqdir mengingatkan bahwa UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor telah memberikan batasan yang tegas yakni kewajiban pembayaran uang pengganti hanya sebatas apa yang diperoleh dari tidak pidana korupsi. Selain itu, kerugian negara harus bersifat pasti dan nyata, sehingga penyitaan seperti dalam hukum acara perdata tidak bisa dilakukan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait