Prof Aloysius Uwiyono: Revisi UU Cipta Kerja Perlu Benahi Aturan Outsourcing
Profil

Prof Aloysius Uwiyono: Revisi UU Cipta Kerja Perlu Benahi Aturan Outsourcing

Ketentuan alih daya atau outsourcing semestinya hanya mencakup pengalihan pekerjaan kepada perusahaan lain. Tapi, dalam UU No.11 Tahun 2020 masih mengatur pengalihan pekerjaan dan pekerjanya dari satu perusahaan ke perusahaan outsourcing lain.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan FH UI, Prof Aloysius Uwiyono. Foto: RES
Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan FH UI, Prof Aloysius Uwiyono. Foto: RES

Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof Aloysius Uwiyono, mengusulkan ketentuan outsourcing atau alih daya dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perlu untuk direvisi. Revisi itu bisa dilakukan melalui proses perbaikan UU No.11 Tahun 2020 sebagaimana amanat Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusan itu, MK memberi perintah kepada pemerintah dan DPR untuk membenahi atau merevisi materi UU No.11 Tahun 2020 dalam jangka waktu 2 tahun. Jika dalam jangka waktu tersebut perbaikan belum dilakukan, maka yang berlaku peraturan-peraturan sebelumnya. Untuk klaster ketenagakerjaan, salah satunya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sependapat dengan putusan MK yang mengkritik partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan UU No.11 Tahun 2020, Prof Aloysius mengaku pernah ikut 2 kali kegiatan sosialisasi RUU Cipta Kerja. Dia menilai sosialisasi itu bukan partisipasi publik. Bahkan dia mencatat usulan yang diberikan untuk RUU Cipta Kerja tidak diakomodir, salah satunya ketentuan mengenai outsourcing.

Pria berusia 69 tahun yang akrab disapa Prof Uwi itu pernah mengusulkan agar ketentuan outsourcing atau alih daya hanya mengatur tentang penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain. Menurutnya, penyediaan jasa pekerja bukan termasuk outsourcing. “Pengertian alih daya atau outsourcing itu penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain,” kata Prof Aloysius Uwiyono saat berbincang dengan Hukumonline di ruang kerjanya, Selasa (25/1/2022).

Hukumonline.com

Pria kelahiran Kertosono, Jawa Timur, 17 November 1952 ini menjelaskan pengaturan penyediaan jasa pekerja dalam UU No.11 Tahun 2020 bisa dilihat dari adanya ketentuan tentang transfer of undertaking protection of employment (TUPE) atau pengalihan tindakan perlindungan. Pasal 66 ayat (3) UU No.11 Tahun 2020 mengatur dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

Menurut Prof Uwi, ketentuan mengenai TUPE itu sebagai upaya atau jalan pintas untuk mengatasi persoalan praktik outsourcing. Melalui TUPE diharapkan dapat memberi perlindungan bagi buruh outsourcing. Namun, jika mekanisme penyedia jasa pekerja ini berlaku seharusnya hubungan kerja bukan antara pekerja dengan perusahaan outsourcing, tapi pekerja dengan perusahaan user atau pengguna.

“Seharusnya hubungan kerjanya dengan perusahaan user langsung baik itu melalui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT),” kritiknya.

Jika yang digunakan mekanisme outsourcing itu, dalam hal pekerjaan dan pekerjanya dilakukan oleh perusahaan outsourcing. Mekanismenya pemborongan pekerjaan dari perusahaan user atau pengguna kepada perusahaan outsourcing. Misalnya, untuk pekerjaan cleaning service, perusahaan user menyerahkan pekerjaan itu kepada perusahaan outsourcing untuk dikerjakan. "Perusahaan outsourcing bertanggung jawab terhadap pekerjanya yang menjalankan pekerjaan cleaning service itu," ujar Anggota Komite Etik Dewan Guru Besar Universitas Indonesia periode 2020-2025 ini.  

Upah minimum

Soal polemik upah minimum, Prof Uwi mencatat setiap tahun hal itu umum terjadi dalam proses penentuan upah minimum. Tapi yang jelas upah minimum itu sejatinya untuk pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Bagi buruh dengan masa kerja di atas 1 tahun kenaikan upahnya melalui struktur dan skala upah atau negosiasi antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha.

Hukumonline.com

Direktur Konten dan Pemberitaan Amrie Hakim usai mengunjungi Prof Aloysius di kantornya.  

Jika ada kepala daerah yang menerbitkan peraturan yang menetapkan besaran kenaikan upah pekerja/buruh dengan masa kerja lebih dari setahun, Prof Uwi menilai kebijakan itu tidak tepat. Kenaikan upah untuk buruh yang berpengalaman kerja itu lebih baik diserahkan pada pengusaha dan pekerja di masing-masing perusahaan. Mengingat banyak faktor internal perusahaan yang perlu diperhatikan seperti kemampuan keuangan perusahaan dan kinerja atau produktivitas buruh.

Begitu juga revisi upah minimum, Prof Uwi mengatakan acuan yang digunakan dalam penetapan upah minimum yakni PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Kebijakan yang diterbitkan gubernur terkait upah minimum harus mengikuti ketentuan dalam PP Pengupahan itu.

Tags:

Berita Terkait