Putusan MK Dinilai Tekankan Perbaikan Substansi UU Cipta Kerja
Utama

Putusan MK Dinilai Tekankan Perbaikan Substansi UU Cipta Kerja

Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sifatnya mengikuti. Kalaupun ingin merevisi UU Pembentukan Peraturan, penggunaan metode omnibus law dalam pembentukan UU tidak dapat berjalan efektif tanpa pembenahan sistem menyeluruh dalam tata kelola regulasi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Narasumber webinar yang digelar PSHK dengan topik Implikasi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Terhadap Upaya Reformasi Regulasi, Jumat (3/12/2021). Foto: ADY
Narasumber webinar yang digelar PSHK dengan topik Implikasi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Terhadap Upaya Reformasi Regulasi, Jumat (3/12/2021). Foto: ADY

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus permohonan uji formil dan materiil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hasilnya, dari 12 permohonan baik uji formil dan/atau materil, hanya 1 permohonan yang dikabulkan sebagian yakni pengujian formil perkara No.91/PUU-XVIII/2020. Putusan itu menyatakan UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dilakukan perbaikan selama 2 tahun. MK juga menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Pengajar FH UPN Veteran Jakarta (UPNVJ), Wicipto Setiadi, mengapresiasi putusan tersebut karena MK menyatakan ada proses formil yang tidak dipenuhi dalam pembentukan UU No.11 Tahun 2020. Dia menilai putusan itu sebagai jalan tengah walaupun menimbulkan kebingungan publik. Pada saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam permohonan uji materi No.11 Tahun 2020 Wicipto mengatakan prosedur atau formil tidak hanya mengacu pada UUD RI 1945 saja, tapi juga berkaitan dengan berbagai peraturan lainnya.

Menindaklanjuti putusan MK itu, Wicipto menyarankan pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 sesuai putusan MK. Secara formil, harus diteliti prosedur apa yang tidak diikuti dalam pembentukan UU No.11 Tahun 2020. Pemerintah dan DPR perlu membahas bersama apa saja prosedur yang belum dilaksanakan menurut putusan MK itu.

Selain formil, perbaikan itu perlu menyasar substansi atau materiil UU No.11 Tahun 2020, terutama yang menimbulkan polemik di masyarakat. “Putusan MK menyatakan uji materiil kehilangan objek, tapi saya rasa perlu melakukan ini sekaligus (perbaikan formil dan materiil UU No.11 Tahun 2020, red),” ujar mantan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM itu dalam webinar yang digelar PSHK bertajuk “Implikasi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Terhadap Upaya Reformasi Regulasi”, Jumat (12/3/2021) kemarin. 

Wicipto menghitung jangka waktu 2 tahun yang diberikan MK untuk pemerintah dan DPR memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 tergolong singkat. Karena itu, dia menekankan agar perbaikan bukan hanya untuk aspek prosedural pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tapi juga substansinya. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalkan adanya potensi Revisi UU Cipta Kerja dipersoalkan kembali ke MK, sehingga akan banyak menghabiskan waktu dan melelahkan.

“Harus ada iktikad baik dari pembentuk UU untuk memperbaiki secara formil dan materiil UU No.11 Tahun 2020. Sehingga, metode omnibus law yang digunakan ini bisa menjadi legacy yang baik, bukan yang buruk dan kontroversial karena banyak yang mengajukan permohonan pengujian ke MK,” papar Wicipto. (Baca Juga: Akademisi Ini Sarankan Pemerintah Tidak Perlu Revisi UU Pembentukan Peraturan)

Soal omnibus law, Wicipto mengatakan metode itu diperlukan mengingat prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan harus sederhana dan efisien. Melalui metode itu sangat dimungkinkan satu UU bisa mengganti atau mencabut beberapa UU sekaligus karena jika menggunakan metode konvensional akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Metode omnibus law dapat digunakan dalam rangka reformasi regulasi melalui simplifikasi atau penyederhanaan melalui omnibus law.

Soal metode omnibus law yang ideal, Wicipto menjelaskan harus dimulai dengan menyusun naskah akademik yang komprehensif, dan tidak terburu-buru. Perlu partisipasi publik yang luas dan substansial yang masuk dalam omnibus law itu merupakan UU yang sifatnya sejenis atau satu klaster, sehingga memudahkan pembentuk UU. Kemudian tidak cacat prosedur dan substantif.

Menurut Wicipto, UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir melalui UU No.15 Tahun 2019 sebenarnya sudah mengakomodir mekanisme omnibus law. Misalnya, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dimana substansinya mengintegrasikan pengaturan norma UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; UU Penyelenggara Pemilu; dan UU Pemilu Legislatif.

UU No.7 Tahun 2017 juga mencabut dan menyatakan 3 UU tidak berlaku yakni UU No.42 Tahun 2008 tentang Presiden dan Wakil Presiden; UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu; dan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Norma yang diatur juga baru (dan satu kelompok, red), bukan norma “campur sari” seperti UU No.11 Tahun 2020.

“Tidak seperti UU No.11 Tahun 2020 yang isinya ada norma baru, memperbaiki (mengubah, red), dan mencabut aturan. UU No.11 Tahun 2020 ini ‘campur sari’, dan ini yang menjadi masalah,” paparnya..

Meskipun MK mengamanatkan untuk mengubah UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Wicipto berpendapat bukan berarti hanya UU itu saja yang diubah, tapi juga termasuk UU No.11 Tahun 2020. Sasaran utama putusan MK itu UU No.11 Tahun 2020 yang harus diperbaiki. Sedangkan, UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sifatnya mengikuti.

Jika UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan nanti direvisi, Wicipto menyarankan tinjauannya harus komprehensif, tidak sekedar mengakomodir putusan MK, tapi juga memuat metode omnibus law dan perubahan pada lampiran II UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (format dan teknis penyusunan peraturan, red).

“Seharusnya omnibus law ini bisa disisipkan dalam perubahan UU No.12 Tahun 2011,” imbuhnya.

Pembenahan menyeluruh

Peneliti PSHK dan Pengajar STH Indonesia Jentera, M Nur Sholikin menilai omnibus law merupakan salah satu strategi pembenahan regulasi yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Tapi proses pengenalan metode ini kepada publik terburu-buru dan tidak partisipatif.

Padahal penting menata regulasi yang menyentuh manajemen regulasi. Putusan MK ini tak hanya mempersoalkan teknik pembentukan UU yang tidak sesuai dengan lampiran II UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tapi juga proses, dan substansinya.

Solihin berpendapat praktik penggunaan metode omnibus law dalam menyusun UU No.11 Tahun 2020 harus dievaluasi secara menyeluruh. Omnibus law bukan satu-satunya solusi dalam mengatasi permasalahan tata kelola regulasi di Indonesia. Penggunaan metode omnibus law dan implementasi UU yang dibentuk dengan omnibus law tidak dapat berjalan efektif tanpa pembenahan sistem menyeluruh dalam tata kelola regulasi.

Terakhir, Solihin mendesak pemerintah dan DPR harus melibatkan partisipasi masyarakat yang luas dalam menyusun revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Jangan sampai pemerintah dan DPR memanfaatkan putusan MK ini dengan mengatur prosedur pembahasan omnibus law sembarangan, apalagi sekedar mengukuhkan praktik buruk proses pembentukan UU No.11 Tahun 2020.”

Tags:

Berita Terkait