Refleksi Akhir Tahun KPK, Dampak Krusial Berlakunya UU KPK Baru
Utama

Refleksi Akhir Tahun KPK, Dampak Krusial Berlakunya UU KPK Baru

UU KPK baru justru mereduksi pemberantasan korupsi.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Transparansi International Indonesia (TII) meluncurkan refleksi akhir tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua lembaga ini menilai adanya perubahan krusial arah pemberantasan korupsi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut Revisi UU KPK).

Sayangnya perubahan ini bukan malah menguatkan, tetapi mereduksi kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Apalagi selama satu tahun kepemimpinan para komisioner baru yaitu Filri Bahuri, Nawawi Pomolango, Ghufron, Lili Pintauli dan juga Alexander Marwata, KPK justru lebih sering menunjukkan kontroversi, ketimbang menuai prestasi.

“Rentetan pelemahan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR terhadap KPK juga bermuara pada menurunnya kepercayaan publik kepada lembaga anti rasuah tersebut. Terbukti, sepanjang tahun 2020, setidaknya lima lembaga survei (Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, Lembaga Survei Indonesia, dan Litbang Kompas) mengonfirmasi hal tersebut. Hal ini baru, sebab, dalam sejarah berdirinya KPK, lembaga ini selalu mendapat kepercayaan tinggi dari publik,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Namun, menurut Kurnia menurunnya kepercayaan publik sebenarnya sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Pada tahun 2019, publik sudah mengingatkan Pemerintah dan DPR bahwa kebijakan pemberantasan korupsi yang dilakukan akan menciptakan situasi stagnasi bagi penegakan hukum. Misalnya, dalam konteks Revisi UU KPK, legislasi itu telah mengikis pondasi utama lembaga pemberantasan korupsi, yakni independensi. (Baca: Mengenal Sanksi Etik Dewas KPK)

Padahal amanat pasal 6 UNCAC yang telah diratifikasi melalui UU 7/2006 yang menyatakan lembaga antikorupsi bersifat independen dan terbebas dari kepentingan manapun. Bukan hanya kooptasi kelembagaan pada rumpun eksekutif semata, bahkan, status kepegawaian turut terkena imbasnya sebab dalam waktu dekat, seluruh pegawai KPK akan segera bertransformasi menjadi aparatur sipil negara.

Dalam aksi demonstrasi #ReformasiDikorupsi medio Oktober 2019 lalu, Kurnia menambahkan, publik juga sudah mewanti-wanti agar Presiden Joko Widodo dan DPR mengurungkan niat untuk memilih para komisioner yang memiliki rekam jejak bermasalah. Namun, saran itu seakan dianggap angin lalu saja. Saat ini kekhawatiran publik itu pun terbukti, tatkala mayoritas persoalan-persoalan di KPK bersumber dari para komisioner terpilih itu sendiri. (Baca Juga: Asa KPK di Tengah “Pandemi”)

“Mulai dari pelanggaran etik, menunjukkan gimik politik, sampai pada permintaan kenaikan gaji yang juga diikuti pembelian mobil dinas. Sehingga, wajar saja, jika beberapa akademisi sudah mulai memikirkan untuk meninggalkan KPK dari gerbong pemberantasan korupsi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait