Respons Apindo Terkait Putusan MK Soal UU Cipta Kerja
Terbaru

Respons Apindo Terkait Putusan MK Soal UU Cipta Kerja

Semua pihak harus menghormati putusan MK tersebut.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terkait UU Cipta Kerja, Kamis (25/11). Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terkait UU Cipta Kerja, Kamis (25/11). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan judicial review terhadap UU No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja pada Kamis (25/11). Putusan tersebut ternyata mengalami perdebatan di kalangan masyarakat, khususnya buruh dan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku khawatir terkait banyaknya pandangan dan isu yang berkembang.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan putusan tersebut menimbulkan multitafsir yang kontraproduktif terhadap upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi.

"Putusan MK yang diputuskan kemarin ini, setelah kami cermati dari diputuskan kemarin siang sampai pagi ini, menimbulkan multitafsir yang menurut kami sangat tidak produktif dan bisa membawa persepsi negatif terhadap konsistensi kita dalam melakukan upaya untuk membawa ekonomi kita lebih maju," katanya jumpa pers, Jumat (26/11).

Lebih buruk lagi, isu-isu yang berkembang itu pun dikhawatirkan akan mengganggu upaya pemerintah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang diamanahkan dalam UU Cipta Kerja. "Ini menurut saya sangat serius karena dimaknai oleh beberapa pendapat yang muncul salah satunya, bahwa kalau UU Cipta Kerja sudah diputuskan cacat formil oleh MK, bagaimana isinya tidak cacat," katanya.

Hariyadi menuturkan, hal lain yang lebih mengkhawatirkan adalah gerakan dari para buruh yang memandang UU Cipta Kerja harus diubah karena tidak sesuai dengan putusan MK. Padahal secara materi, tidak keberatan atas substansi dalam UU Omnibus Law. (Baca: Konfederasi Serikat Pekerja Apresiasi Putusan UU Cipta Kerja)

"Di lapangan yang kami khawatirkan adanya gerakan dari rekan buruh yang berpandangan ini semua harus diubah karena sudah tidak sesuai dengan putusan MK. Hal ini yang menurut pandangan kami mengkhawatirkan," katanya.

Hariyadi mengaku, selain kekhawatiran dari sisi pelaku usaha di dalam negeri, revisi UU Cipta Kerja berdasarkan putusan MK pun menimbulkan tanda tanya bagi para investor dari luar negeri. "Investor luar negeri menanyakan kepada kami, 'Bagaimana nasib UU yang kalian bikin, mau diubah semuanya?" katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo mengatakan ada 9 penjelasan terkait amar Putusan MK yang perlu kembali diluruskan. Menurutnya, semua pihak harus menghormati putusan MK tersebut.

"Dalam putusan MK sudah secara gamblang mana yang dimaknai, dibatalkan dan mana yang tidak dibatalkan. Secara hukum UU ini tetap berlaku, namun ketika para pembentuk UU tidak bisa merevisi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh MK maka UU dinyatakan inkonstitusional atau dibatalkan," jelas Firman.

Adapun yang dimaksud dalam UU ini bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 adalah asas pembentukannya. Dalam UU No15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak ada norma ataupun frasa yang mengatur tentang omnibus law. 

"Di dalam UU Cipta Kerja tidak ada frasa yang membahas tentang Omnibus Law. Hal ini sudah menjadi keputusan MK maka sudah seharusnya kita menghormati putusan itu. Di samping itu kami sebagai DPR RI terus melakukan langkah-langkah objektif untuk melakukan apa yang telah ditentukan." katanya.

UU ini merupakan inisiatif pemerintah, oleh karena itu menurut Firman semua pokok permasalahan materi yang telah diputuskan dalam MK terkait frasa dan substansi yang diatur dalam UU Cipta Kerja diserahkan ke pemerintah untuk dilakukan revisi. 

Agar UU ini tidak dianggap inkonstitusional, kata Firman, maka DPR telah melakukan inisiasi bersama tenaga ahli untuk menyiapkan draft naskah beserta rancangan UU-nya untuk dilakukan revisi terhadap UU No.12 Tahun 2011 untuk memasukkan frasa ke dalamnya. Jika sudah dilakukan secara konstitusional maka UU ini sah dan tidak cacat hukum serta tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Firman menegaskan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku, kecuali tidak ada kemampuan melaksanakan revisi sesuai perintah dari MK. “Jika tidak direvisi maka pasal-pasal yang ada di UU Cipta Kerja tersebut dinyatakan dibatalkan dan kembali berlakunya UU lama,” kata Firman.

Adanya perdebatan mengenai batalnya UU ini di tengah masyarakat, khususnya kalangan pengusaha dan buruh adalah sebuah kekeliruan tafsir. “Kepada masyarakat untuk tidak menanggapi tafsir-tafsir hukum yang di luar keputusan MK karena kita harus menghormati keputusan MK. Kita tidak boleh memperdebatkan apa yang menjadi delik dari MK,” kata Firman.

Menurutnya, adanya perdebatan terkait putusan MK ini mengisyaratkan bahwa Undang-Undang tidak boleh dilahirkan dengan adanya diskriminasi dan harus mendengar seluruh suara masyarakat.

Tags:

Berita Terkait