Kedua, persidangan MK untuk sengketa Pilpres dengan mekanisme speedy trial memiliki waktu terbatas untuk pembuktian sehingga menyulitkan pembuktian secara menyeluruh dan nampak dalam prosesnya tidak dimaksimalkan para Hakim MK untuk secara aktif mencari dan menemukan bukti materiil. Hal ini membuat persidangan sengketa pilpres tidak lebih dari sekedar formalitas dan dinilai hanya sandiwara hukum untuk menghapus jejak-jejak fakta kecurangan pemilu.
Ketiga, akhirnya dalam pertimbangan hukum putusannya, mayoritas hakim MK menutup mata terkait dengan fakta material yang kasat mata seperti tidak netralnya Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, pelibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara negara di sejumlah daerah untuk pemenangan salah satu calon, maupun penyaluran dana bantuan sosial sebagai alat pemenangan salah satu peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
YLBHI juga menyoroti berbagai fakta hukum substansial ketidakadilan dalam proses pemilu tidak diakui dengan alasan hukum normatif positivistik seperti sudah diproses Lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu sesuai kewenangannya seperti Bawaslu dan DKPP serta beralasan tidak cukup teryakinkan adanya kecurangan dengan dalih formil karena kurang bukti.
"Merujuk pada hal diatas, YLBHI melihat pentingnya mendudukkan kembali Mahkamah Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjaga demokrasi dan konstitusi bukan seperti hari ini malah menjadi Mahkamah stempel kekuasaan otoriter yang bersembunyi dibalik hukum (undang undang dan putusan pengadilan bermasalah)," tegas Arif.